Zaman ini terkadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak
punya pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari
membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan (takfiri). Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan
kebohongan pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.
Sesungguhnya
perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Sunnatullah. Ada yang suka warna biru.
Ada yang merah. Rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.
Di antara
Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik,
Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan
para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dijelaskan Allah dalam Surat
Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati,
niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai.
Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah
pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Dalam tradisi
ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap
tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang
disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan
berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Dalam bidang
hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu
Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini
dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam
dalam berbagai mazhabnya. Ibnu Qudamah selain melihat pandangan 4 mazhab yang masyhur ia
juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat,
tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam
yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal,
tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an,
syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah,
dan lain-lain.
Penguasaan
terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut
sebagai mujtahid atau pakar ijtihad atau ahli
dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama
yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut
ulama yang mumpuni di bidangnya.
Sikap Tasamuh terhadap Perbedaan Pendapat
Yang menarik,
dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang
diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi,
dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah
Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima
kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut
prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik
Allah SWT.
Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah
sehingga wajib untuk diikuti.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk
salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk
benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari
Imam Syafi’i.
Dalam kerangka
yang sama, Imam Hambali (Ahmad bin Hambal) pernah
berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila
memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab hambali (hanabilah)
sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah
mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Hambali demi
menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya.
Sebab, menurut ulama-ulama Madinah kala
itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan
bacaan basmalahnya.
Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah
Penting untuk
segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas
adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah belaka. Atau dalam
istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al
khilaf as sa’igh al maqbul.
Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan
ulama mengenai bentuk manasik haji yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan
bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam
shalat ‘id, dan redaksi shalawat nabi yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut
tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat
memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing.
Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali
tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan
ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.
Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul, ialah
perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari
ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.
Perbedaan
pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis
sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat,
hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan
contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat
yang kedua ini.
Sikap seharusnya terhadap perbedaan
pendapat:
- Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;
- Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;
- Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;
- Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.
Khilafiyah yang Tercela
Di samping
khilafiyah dalam masalah furu’iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat
berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan
pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang
tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan
pokok-pokok ajaran agama (biasa disebut tsawabit
atau ma’lum minad diin bid dharurah
atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).
Paham-paham
serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak
jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap
pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah
slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti
dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk
kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat
jelas landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang sahih.
Gugatan kepada
pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh.
Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat (jumhurul
muslimun). Terkait dengan paham nyeleneh ini,
menarik untuk menyimak perkataan Sayyidina
Ali berikut: Imam Ali bin Abi Thalib Karimallahu Wajhah berkata, “Akan muncul pada akhir zaman sekelompok
manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang
Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati
mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi
Allah.” (Riwayat al Harawi)
Pernyataan Sayyidina Ali tidak
berlebihan. Sayyina Umar bin Khattab, bahkan telah terlebih dahulu mengambil tindakan tegas terhadap
bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang
laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu
itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan
terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan
mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh
bertobat. (Riwayat ad Darimi)
Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela
Al Khilaf al Madzmum
sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada
khilafiyah dalam masalah furu’ tadi kita menyaksikan toleransi (tasamuh) dan penghargaan
yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini.
Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.
Yahya bin
Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, seorang
ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir
Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab
Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas
diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi
Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah
tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)
Ini adalah
contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Abdullah bin Umar, terhadap orang-orang yang
seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi. Tidak jauh
berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan
metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i,
yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, “Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah
dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.”
Al khilaf al madzmum ini,
dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran (tasamuh). Tapi dengan
sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial
serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan
menggugat eksistensi Islam itu sendiri.
Keyakinan atas
kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama
lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga
kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannya serta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai
salah satu sumber otentik ajaran Islam. Bila hal-hal yang mendasar seperti ini
dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?
Cara Nabi Menghadapi Perbedaan
Kecuali
menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qath’i, Islam dikenal sangat
menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah
kepada kita semua.
Dalam Shahih
al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah
memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda
dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri
yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta
konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan
bahwa Al-Qur’an
memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). Faqra’uu maa
tayassara minhu, sabda Rasulullah SAW, maka bacalah mana
yang engkau anggap mudah daripadanya. Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak
yang berbeda.
al-Imam
Al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda pada
peristiwa Ahzab:
“ Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di
tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba
di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu
yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi
tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata
bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah
satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan
bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan
melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi
di atas.
Dari Sa’id bin
Musayyab, ia berkata, Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan
bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun
Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada
seorang yang lebih mulia darimu (yaitu
Nabi Muhammad)”. Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan
melanjutkan perkataannya. Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah
SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan
Ruh al-Qudus. Abu Hurairah lalu menjawab, Ya Allah, benar (aku telah
medengarnya). (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat
Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah
dan Rasul-Nya
di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya.
Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan
dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau
bershalawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya.
Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid
sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak
melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah,
sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau
berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun
dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka,
ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik
berkata: Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah SAW semasa Ramadhan dan di
kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang
berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak
berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and
Muslim]
Perbedaan itu
akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok takfir menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang
yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah,
Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan
adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak
bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa.
Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 H.
Imam Al-Baihaqi
menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim
bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang
kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan
Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan
manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam
memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah
kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai
tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan
adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami
telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) *[966]; dan kepada
masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami
tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan
kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa’ 78-79]
*[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok
kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman
mengadukan hal ini kepada Nabi Daud AS. Nabi Daud memutuskan bahwa
kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti
tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman AS memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan
sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang
empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang
baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang
mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman
AS ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang
suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara
keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi
ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam
karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Kadang ada
kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja sehingga
bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:
“Umatku akan
terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu
Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Padahal
berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam
perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.
Mereka
menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”.
Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW
bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis
kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang
begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan
yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan
(katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu
Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal.
47-48).
Padahal ayat di
atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita baca,
itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan
orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat
(Nasrani).
Dalam tradisi
ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung
jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk
merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah,
adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang
hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul
hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan
lain-lain.
Para Imam
Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali
berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat
yang lain. Begitu pula para pengikutnya.
Dalam khazanah
Islam, para ulama salafushshalih dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya
yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat
masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan
pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Kalau sekarang
kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa ulamanya
berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular”
segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari mereka?
Adab Berbeda Pendapat dalam Islam
Khilaf (perbedaan
pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak
disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan
perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan
bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini
adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;
1. Ikhlas dan
Lepaskan Diri dari Nafsu
Kewajiban setiap
orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu
tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak
terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri
sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu
karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau
untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium
bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Tidak
Menjelekkan
Masing-masing
tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena
tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan)
yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin
meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi
perbedaan.
3. Cara yang
Baik
Dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl: 125).
Munazarah atau berdialog harus dengan cara yang
baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau
mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang
keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.
Penyeru
kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi.
Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga
berakibat orang menjauh dari dakwahnya.
5. Mendalami
Nash Syariah dan Pendapat Ulama
Agar dapat
keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah
yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan
yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas
dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.
6. Bedakan
antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan
Masalah-masalah
yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan
dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya
terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
7. Pertimbangkan
Tujuan dan Dampaknya
Orang yang
mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja
mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah SWT tetap memberikan satu
pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan
keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban
kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286).
“Dikatakan
kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail,
berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya
dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah SAW., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk
ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat
maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti
seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah SAW., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits
as-Shahihah, no. 190).
Memang Allah
memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya
kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’
untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.
Namun jika
terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan
Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al
Hujuraat 11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi
saja seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa’
78-79] demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat
faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.
Jika kita karena
perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat,
Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka
kitalah yang sesat.
Seluruh bumi ini akan terasa sempit
jika kita hidup tanpa toleransi (tasamuh)
namun jika hidup dengan perasaan cinta
meski bumi sempit kita kan bahagia melalui perlaku mulia dan damai (salam)
sebarkanlah ucapan yang manis
hiasilah dunia dengan sikap yang hormat
dengan cinta dan senyuman sebarkanlah diantara insan
Inilah Islam agama perdamaian
© Infokom PD OPI Aceh
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء