Kabid Infokom

Minggu, 25 Maret 2018

Bagaimana Islam Memandang Perbedaan Pendapat



Zaman ini terkadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak punya pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan (takfiri). Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan kebohongan pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.

Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Sunnatullah. Ada yang suka warna biru. Ada yang merah. Rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.

Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Dalam bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Ibnu Qudamah selain melihat pandangan 4 mazhab yang masyhur ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau pakar ijtihad atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Tasamuh terhadap Perbedaan Pendapat


Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Hambali (Ahmad bin Hambal) pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab hambali (hanabilah) sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Hambali demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah kala itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah


Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa’igh al maqbul.

Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik haji yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat ‘id, dan redaksi shalawat nabi yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul, ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.

Sikap seharusnya terhadap perbedaan pendapat:
  1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;
  2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;
  3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;
  4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

 Khilafiyah yang Tercela


Di samping khilafiyah dalam masalah furu’iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama (biasa disebut tsawabit atau ma’lum minad diin bid dharurah atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).

Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang sahih.

Gugatan kepada pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat (jumhurul muslimun). Terkait dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Sayyidina Ali berikut: Imam Ali bin Abi Thalib Karimallahu Wajhah berkata, “Akan muncul pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah.” (Riwayat al Harawi)

Pernyataan Sayyidina Ali tidak berlebihan. Sayyina Umar bin Khattab, bahkan telah terlebih dahulu mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat ad Darimi)

Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela


Al Khilaf al Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu’ tadi kita menyaksikan toleransi (tasamuh) dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.

Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, seorang ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)

Ini adalah contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Abdullah bin Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi. Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i, yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, “Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.

Al khilaf al madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran (tasamuh). Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri.

Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannya serta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik ajaran Islam. Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?

Cara Nabi Menghadapi Perbedaan


Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qathi, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.

Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Quran memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). Faqrauu maa tayassara minhu, sabda Rasulullah SAW, maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya. Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.

al-Imam Al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda pada peristiwa Ahzab:
 “ Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”

Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.

Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (yaitu Nabi Muhammad). Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus. Abu Hurairah lalu menjawab, Ya Allah, benar (aku telah medengarnya). (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasai [709] dan Ahmad [20928]).

Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan Rasul-Nya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.

Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bershalawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!

Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:

Anas bin Maalik berkata: Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah SAW semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]

Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok takfir menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.

Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 H.

Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.

Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) *[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa’ 78-79]

*[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud AS. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman AS memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman AS ini adalah keputusan yang tepat.

Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)

Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:

“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).

Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.

Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :

Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :

“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).

(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).

Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita baca, itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani).

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.

Dalam khazanah Islam, para ulama salafushshalih dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

Kalau sekarang kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa ulamanya berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular” segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari mereka?

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam


Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Tidak Menjelekkan

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

3. Cara yang Baik

Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl: 125).

Munazarah atau berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma dan yang Diperselisihkan

Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah SWT tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286).

“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah SAW., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah SAW., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).

Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.

Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al Hujuraat 11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa’ 78-79] demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.


Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka kitalah yang sesat.



Seluruh bumi ini akan terasa sempit 
jika kita hidup tanpa toleransi (tasamuh) 
namun jika hidup dengan perasaan cinta 
meski bumi sempit kita kan bahagia melalui perlaku mulia dan damai (salam) 
sebarkanlah ucapan yang manis 
hiasilah dunia dengan sikap yang hormat 
dengan cinta dan senyuman sebarkanlah diantara insan 
Inilah Islam agama perdamaian



© Infokom PD OPI Aceh

0 komentar:

Posting Komentar

جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Postingan Populer