Kabid Infokom

Rabu, 16 Agustus 2017

Ulama Kharismatik Ahlussunnah wal Jama'ah Aceh, Abuya Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee Al Haddadi Al Falaki Al Asyi: Ketua DPD PERTI Aceh Pertama, Ketua Majelis Syura DPD PERTI Aceh 1968-1973


Abu Tgk.H.M. Hasan Krueng Kalee
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh (Tgk. Daud Beureueh adalah murid dari Tgk.H.M. Hasan Krueng Kalee) datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur;Ta peu’ek geulayang wate na angen. (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang).Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.

Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee merupakan seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Al Haddad.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.

Siapakah Beliau ?




Keluarga Krueng Kalee

Syaikh Teungku Muhammad Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.  Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.

Beliau lahir pada tanggal 13 Rajab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.

Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Disanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.

Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke Negeri Yan, Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.

Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.

Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyi Al-Falaky.”

Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.

Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.

Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai mengabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :


  • Tgk. Syaikh Mahmud (Syaikh Mud) Blangpidie, ulama dan pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Aceh Selatan (Sekarang Masuk dalam Wilayah Aceh Barat Daya).
  • Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majelis ulama Aceh Timur.
  • Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
  • Tgk. H. M.Muda Waly Al Khalidy Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Aceh Selatan. 
  • Tengku Muhammad Amin Jumphoih Kembang Tanjong Pidie
  • Tengku Syeh Ibrahim Ahmad Cot Cibrek Simpang Keuramat Aceh Utara
  • Tgk. H. Idris Lamreung (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry )  
  • Tgk Ishak Di Iboih kembang tanjong Pidie
  • Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
  • Kolonel Nurdin, mantanBupati Aceh Timur.
  • Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.
  • Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
  • Tgk. H. Mahmud Blang Blahdeh, Bireuen.
  • Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh
  • Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
  • Tgk. Haji Adnan Mahmud Bakongan
  • Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Rayeuk.
  • Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
  • Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
  • Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.


Pada tahun 2007, senin 7 Mei, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Keempat ulama itu, masing-masing 

1.      Syaikh Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala),
2.      Syaikh Hamzah Fansuri,
3.      Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, dan
4.      Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Abu Muda Waly )

Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.

Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam



Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafiyah syafi'iyah dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain. 

Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk. H. Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H. Hasballah Indrapuri, Tgk H. Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain sebagainya.

Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah :

Ø  Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
Ø  Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
Ø  Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa :

Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah   sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh     almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun     bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan   nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air agama dan bangsa.”

Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk. H. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.

Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada masa hangat-hangatnya perjuangan membela tanah air, organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.

Pada awal tahun 1942 PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan PERTI ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui.

Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh. Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Teungku Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.

Almarhum Teungku Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).

Dari uraian diatas jelas bahwa Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh lainnya. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Teungku Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi PERTI.

Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan juang di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya PERTI, PUSA, Kasyafatul Islam, Muhammadiyah, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya.

Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleebalang (Hulubalang) Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.

Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “Ta Peu’ek Geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.

***



Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan.

© Infokom PD OPI Aceh 

0 komentar:

Posting Komentar

جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Postingan Populer