Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh (Tgk. Daud Beureueh adalah murid dari Tgk.H.M. Hasan Krueng Kalee) datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur;“Ta peu’ek geulayang wate na angen.” (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang).Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat. |
Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng
Kalee merupakan seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut
Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Al Haddad.
Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng
Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah
Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan
Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah
peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik
Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga
dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan
bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh),
PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Siapakah Beliau ?
Syaikh Teungku Muhammad Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh
'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali
sebagai Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng
Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran
Aceh. Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat
masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku"
pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.
Beliau lahir pada tanggal 13 Rajab
1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe
Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah
yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah
tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.
Muhammad Hasan kecil dibawa kembali
oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Disanalah
perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah
yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar
agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama
setelah ayahnya sendiri.
Ketika umurnya beranjak dewasa, ia
melanjutkan pendidikan ke Negeri Yan, Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk.
Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang
turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik
kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan
pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya
tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah
semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama
besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga
belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang
menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan
digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyi Al-Falaky.”
Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng
Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren
gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng
Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodohkan oleh gurunya dengan
seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad
Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan
mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka
lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa
Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.
Di tempat terakhir ini, Abu Krueng
Kalee mulai mengabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader
ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara
murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :
- Tgk. Syaikh Mahmud (Syaikh Mud) Blangpidie, ulama dan pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Aceh Selatan (Sekarang Masuk dalam Wilayah Aceh Barat Daya).
- Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majelis ulama Aceh Timur.
- Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
- Tgk. H. M.Muda Waly Al Khalidy Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Aceh Selatan.
- Tengku Muhammad Amin Jumphoih Kembang Tanjong Pidie
- Tengku Syeh Ibrahim Ahmad Cot Cibrek Simpang Keuramat Aceh Utara
- Tgk. H. Idris Lamreung (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry )
- Tgk Ishak Di Iboih kembang tanjong Pidie
- Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
- Kolonel Nurdin, mantanBupati Aceh Timur.
- Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.
- Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
- Tgk. H. Mahmud Blang Blahdeh, Bireuen.
- Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh
- Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
- Tgk. Haji Adnan Mahmud Bakongan
- Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Rayeuk.
- Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
- Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
- Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
Pada tahun 2007, senin 7 Mei,
bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama
Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang
menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh
yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Keempat ulama itu,
masing-masing
1. Syaikh
Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala),
2. Syaikh
Hamzah Fansuri,
3. Tgk
Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, dan
4. Tgk
Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Abu Muda Waly )
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee
secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan
agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang
politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan RI
yang ketika itu baru seumur jagung.
Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafiyah syafi'iyah dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik
Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga
dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan
bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh),
PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.
Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika
diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk. H. Hasan Kruengkalee
terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan
perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada
kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H. Hasballah Indrapuri, Tgk H. Abdul
Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji
Hasan Kruengkalee Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain
sebagainya.
Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah :
Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah :
Ø Tiada sekali-kali
terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak
berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat
mempelajarinya.
Ø Memasukkan
pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat
sekolah-sekolah itu.
Ø Orang perempuan
berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada
syara.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945,
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang
kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq
Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Pernyataan itu menegaskan bahwa :
”Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah
perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa
perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang
dipimpin oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan
pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku
sekalian, bersatu padu menyusun bahu, mengangkat langkah
menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu.
Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk
keselamatan tanah air agama dan bangsa.”
Pernyataan tersebut tertanggal 15
Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar
berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada
tanggal 25 Oktober Tgk. H. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan
tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian
dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat
pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8
November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama
diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah
barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi
Teungku Chik Ditiro.
Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng
Kalee merupakan salah seorang penasehat PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui
organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih
berdaya guna. Tetapi pada masa hangat-hangatnya perjuangan membela tanah air,
organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap
pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah
satu tulisannya.
Pada awal tahun 1942 PUSA (Persatuan
Ulama Seluruh Aceh) dan PERTI ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan
sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang
logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar
mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah,
yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui.
Dapat diketahui bahwa hanya dua
organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan
rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi
lain yang mulai tumbuh di Aceh. Dengan demikian para ulama tergabung dalam
organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh,
juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda.
Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti
disebutkan diatas Teungku Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang
perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.
Almarhum Teungku Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).
Dari uraian diatas jelas bahwa Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau
pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan
Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh
lainnya. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam
yang lain, namun Teungku Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya
melalui organisasi PERTI.
Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan
masyarakat tampil ke medan juang di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan
dan mempertahankannya. Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya PERTI, PUSA, Kasyafatul Islam, Muhammadiyah, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun
organisasi-organisasi Islam lainnya.
Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga
terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleebalang (Hulubalang) Aceh pimpinan Teuku
Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada
dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah
seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di
Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu
ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional
Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi
besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh
dipenghujung tahun 1945 tersebut.
Ketika peristiwa DI/TII meletus di
Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk
mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah
ungkapan yang masyhur; “Ta Peu’ek Geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah
layang-layang ketika angin kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu
Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi
yang tepat, tidak akan membuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang
telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat
Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di
Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih
terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi
kemerdekaan dan pembangunan.
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء