Dari Abi ‘Abdillah Tsauban bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.” (H.R. Imam Muslim)
Kekayaan,
betapapun kerasnya cara kita mendapatkannya, adalah anugerah Allah. Karena
anugerah, ia harus diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Sang Pemberi
Anugerah. Orang tak bisa seenaknya berbuat dengan hartanya meskipun ia
mengklaim itu hasil jerih payahnya sendiri. Sebab, setiap yang dimiliki manusia
terkandung tanggung jawab yang harus dipikul. Sikap etis dalam memiliki
kekayaan termasuk dari implementasi tanggung jawab tersebut.
Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali menjelaskan etika menjadi orang
kaya dalam salah satu risalahnya berjudul Al-Adabu fid Dîn, persisnya dalam
fasal Âdâbul Ghanî (dalam Majmû‘ Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî, Kairo: al-Maktabah
at-Taufîqiyyah). Imam Al-Ghazali mengulas beberapa poin penting yang harus
dilakukan oleh orang berpunya.
Pertama, selalu
bersikap tawaduk (luzûmut tawadlu’). Kedua, menghapus sikap sombong (nafyut
takabbur). Orang yang memiliki kelebihan, termasuk kelebihan harta benda,
diharuskan untuk melestarikan sifat rendah hati, tidak angkuh, terhadap orang
lain baik miskin maupun kaya seperti dirinya. Sifat ini bisa muncul jika si
kaya menginsafi bahwa kekayaan hanyalah titipan atau sekadar amanat.
Ketiga,
senantiasa bersyukur (dawâmusy syukr). Lawan dari syukur adalah kufur alias
mengingkari kekayaan sebagai karunia yang sangat berharga. Kufur biasanya
dipicu oleh sifat tamak, tak puas dengan apa yang sedang dimiliki.
Keempat, terus
bekerja untuk kebajikan (at-tawâshul ilâ a‘mâlil birr).Di antara modal orang
kaya yang tak dimiliki orang miskin adalah kekuatan ekonomi. Karena itu
hendaknya kekuatan ini dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang lain, bukan
dibiarkan menumpuk, bukan pula untuk kegiatan mubazir atau yang menimbulkan
mudarat.
Kelima,
menunjukkan air muka yang berseri-seri kepada orang fakir dan gemar
mengunjunginya (al-basyâsyah bil faqîr wal iqbâl ‘alaihi). Sikap ini adalah
bukti bahwa si kaya tak membedakan pergaulan berdasarkan status ekonomi
seseorang.
Keenam, menjawab
salam kepada siapa saja (raddus salâm ‘alâ kulli ahadin). Orang kaya juga
dituntut untuk membalas sapaan yang datang dari setiap orang, terlepas dari
latar belakang keturunan, kekayaan, status sosial, profesi, dan lain-lain.
Manusia memang diciptakan setara dan sama-sama mulia, dan demikianlah
seharusnya tiap orang saling bersikap.
Ketujuh,
menampakkan diri sebagai orang yang berkecukupan (idh-hârul kifâyah). Artinya,
orang kaya tak sepatutnya bersikap memelas atau menunjukkan tanda-tanda sebagai
orang yang butuh bantuan. Tentu ini berbeda dari sikap hidup sederhana, yang
menjadi lawan dari berfoya-foya dan terlalu bermewah-mewahan.
Kedelapan,
lembut dalam bertutur dan berperangai ramah (lathâfah al-kalimah wa thîbul
muânasah). Artinya, tidak mentang-mentang kaya dan bisa melakukan banyak hal
dengan kekuatan ekonominya, orang kaya lantas boleh berbuat apa saja, termasuk
berkata kasar dan merendahkan orang lain.
Kesembilan, suka
membantu untuk kepentingan-kepentingan yang positif (al-musâ‘adah ‘alal
khairât). Contah dari sikap ini adalah bersedekah, membangun fasilitas umum,
memberi bantuan modal usaha, menanggung biaya pendidikan orang miskin, dan
lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء