PERTI
merupakan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, dan
amal sosial yang didirikan Syeikh Sulaiman Arrasuli dan para tokoh ulama
ahlussunnah wal jamaah lainnya di Minangkabau, Sumatera Barat, pada 15
Zulqaidah 1346 Hijriah, atau 5 Mei 1928. Selain PERTI, Syeikh Sulaiman Arrasuli
juga mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Semuanya berada di Minangkabau.
Lahirnya PERTI
didasari semangat kebangsaan dan kesadaran beragama yang mulai muncul di tanah
air awal abad XX, menyusul lahirnya berbagai organisasi Islam dan kebangsaan
lainnya, seperti Sarekat Dagang Islam (1905), Budi Utomo (1908), Sarekat Islam
(1911), Muhammadiyah (1912), dan Nahdatul Ulama (1926).
Kehadiran PERTI di
Aceh pada era tahun empat puluhan tidak dapat dilepaskan dari peran para tokoh
ulama ahlussunnah wal jamaah di Aceh. Abuya Syeikh Muhammad Muda Waly Al Khalidy
merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan PERTI di Aceh sepulangnya dari
menuntut ilmu di Minangkabau. Beliau membentuk PERTI di Labuhan Haji sebagai
pusat PERTI pertama di Aceh dan cabang langsung dari PERTI Pusat yang ketika
itu berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Organisasi PERTI di
Aceh selanjutnya semakin berkembang setelah Teungku H.M. Hasan Krueng Kalee,
Abuya Muda Wali Al-Khalidy, Teungku H. Nyak Diwan, Teungku H. Muhammad Saleh
Aron, dan berbagai tokoh ulama lainnya memprakarsai lahirnya PERTI untuk
wilayah Aceh.
Teungku H. Hasan
Krueng Kalee juga sekaligus memimpin organisasi ini hingga 1968 dengan Sekjen
Teungku H. Muhammad Saleh Aron. Dari tahun 1968 hingga ajal menjemputnya tahun
1973, Abu Krueng Kalee menjabat sebagi Ketua Majlis Syura PERTI Aceh.
Kepemimpinan PERTI
Daerah Aceh selanjutnya terus silih berganti dipimpin oleh Teungku H. Muhammad
Saleh Aron (1988), Teungku H. Razali Sabil (1993), Teungku H. Daud Zamzami
(2002), Teungku H. Faisal Amin yang telah menjabat sebagai ketua selama dua
periode dan pada tahun 2011 beliau terpilih sebagai Ketua Umum PERTI Indonesia
periode 2011-2016,dan terakhir Drs. Teungku H. Hasyim Daud, MM sebagai ketua dan Drs. Zulkarnani sebagai sekretaris
memimpin DPD PERTI Aceh sampai islah PERTI-Tarbiyah.
Kiprah PERTI dalam membina
tarbiyah umat Islam Aceh sangat besar. Hampir seluruh dayah di Aceh bernaung di
bawah organisasi ini. PERTI dianggap sebagai sebuah wadah organisasi yang
berjuang untuk mempertahankan orisinalitas pemahaman agama Islam di Aceh.
Itikadnya mengacu pada paham ahlus sunnah wal jamaah, dan berfiqh dengan mazhab
Syafii.
Bendera PERTI |
Menyahuti Maklumat
Pemerintah RI tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan organisasi dan
masyarakat untuk membentuk partai politik, maka pada 22 November 1945, PERTI
resmi menjadi partai.
Dalam Pemilihan Umum
1955, Partai PERTI ikut serta meramaikan Pemilu pertama di Indonesia itu.
Pemilu ini bertujuan memilih 260 anggota DPR dan 520 anggota Konstituante,
ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Dalam Pemilu ini
Partai PERTI berhasil memperoleh 465.359 suara atau 1,23 persen dari total
suara pemilih. Dari total suara tersebut PERTI berhasil memperoleh tujuh kursi
di Konstituante. Dari tujuh kursi tadi, satu jatah kursi diberikan kepada PERTI
Aceh, yang diwakili oleh Teungku H Hasan Krueng Kalee.
Partai-partai Islam,
selain memperdebatkan bentuk Negara Islam yang diinginkan, juga memperdebatkan
legalitas Presiden RI Soekarno sebagai ulil amri yang wajib ditaati karena
pemerintahan ini bukan pemerintah Islam.
Menyikapi perdebatan
terus-menerus kelompok islamis di Konstituante itu, pada 14 Oktober 1957,
Presiden Soekarno mengundang sekitar 500 ulama dari seluruh pulau Jawa, dan dua
ulama Aceh terkemuka, Teungku H Hasan Krueng Kalee dan Teungku H Syech Muda
Wali Al Khalidi ke Istana Cipanas, membicarakan status Negara RI dan
Presidennya dalam tinjauan agama Islam, apakah sah atau tidak.
Pertemuan itu
akhirnya menyimpulkan kesepakatan ulama sesuai dengan apa yang diutarakan oleh
ulama Aceh. Pertama, kemerdekaan Indonesia adalah sah. Kedua, Presiden RI
Soekarno adalah Presiden yang sah dalam posisi ulil amri dharuri bisyaukah.
Yang dimaksud dengan “Ulil Amri Dharūrī bisy Syaukah” adalah pemerintahan yang
memiliki kekuasaan untuk sementara waktu (Pemerintahan Masa Transisi), hingga
terbentuknya Pemerintahan Islam yang sah dan benar.
Pemerintahan ini oleh
sebagian ulama dianggap sah selama tidak kafir pemimpinnya, dan tidak
mengingkari keberadaan hukum-hukum syariat, baik secara itiqad (kepercayaan),
inad (pembangkangan), atau istihza (menghina hukum Islam). Walaupun mereka
tidak menerapkan sebagian hukum Islam, mereka harus menyadari bahwa hal
tersebut adalah dosa, dan tidak menghalalkan perbuatan mereka yang tidak
menerapkan hukum Allah.
Pengakuan posisi
Soekarno sebagai waliyul amri dharuri bisyaukah pada hakikatnya juga sebagai
jawaban atas persoalan wali nikah bagi para wanita yang tidak memiliki wali.
Dalam pandangan Islam, sultan atau pimpinan negara (dalam hal ini diwakili para
hakim di Mahkamah Syariyah) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.
Pada 1973 Partai
PERTI kembali menjadi ormas Islam, setelah fusi empat partai Islam (NU,
Parmusi, PSII, PERTI) sepakat bersama mendirikan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP).
Sejak kembali kepada
khittahnya, peran PERTI terus diarahkan kepada tarbiyah umat melalui dayah atau
pondok pesantren yang dimilikinya di seluruh Indonesia, serta penguatan
keagamaan dan sosial dalam masyarakat. Meski demikian kecenderungan politik
ormas ini masih sangat kental, terutama dalam memperjuangkan kepentingan umat
Islam yang menjadi basis grass-roots dari organisasi ini.
Salah satu hal yang
menjadi perhatian PERTI hari ini adalah pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Sudah menjadi fakta bahwa Aceh hari ini telah mencanangkan serta diberi wewenang
oleh undang-undang untuk menerapkan syariat Islam. Namun dalam perjalanannya
penerapan Syariat Islam di Aceh belum terlihat signifikan.
Di antara faktor
penyebabnya adalah belum terwujudnya rujukan standar penerapan syariat Islam
yang baku baik di Aceh, maupun di negara-negara Islam lainnya. Beranjak dari
latar belakang tersebut, PERTI terus berusaha untuk melakukan terobosan yang
dapat memacu lahirnya sebuah rujukan umat Islam yang dapat dipergunakan di Aceh
khususnya maupun di Indonesia umumnya. Rujukan tersebut tentunya sesuai dengan
syariat Islam yang berlandaskan Ahlussunnah WalJamaah dan bermazhab Imam Syafii
sebagaimana umumnya dianut masyarakat Aceh, Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
© Infokom PD OPI Aceh
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء