Kabid Infokom

Selasa, 06 Maret 2018

Tgk. H. Nashiruddin Daud; Berjuang, Belajar, Berbakti

Tgk. H. Nashiruddin Daud
  • Nama : Tgk. H. Nashiruddin Daud
  • Tempat / Tanggal Lahir : Padang Keuneuleh, Manggeng, Aceh Barat Daya / 31 Desember 1942
  • Wafat : Pancor Batu, Deli Serdang, Sumatera Utara / 25 Januari 2000
  • Agama : Islam
  • Alamat :
    1. Jl Puda 5 Kuta Alam, Banda Aceh
    2. Komplek DPR-RI Blok A6-98 Kalibata Jakarta Selatan
  • Istri : Rosniar
  • Anak :
    1. Abdul Rauf, 1974
    2. Qushairi, 1975
    3. Nuriati, 1978
    4. Husna, 1980
    5. Yusra, 1982
    6. Sahrati, 1984
    7. Muhammad Fadhil, 1989
    8. Nurbaiti, 1992
  • Pendidikan:
    1. Sekolah Rakjat, Manggeng, 1958.
    2. Ibtidaiyah Darussalam, Labuhan Haji, 1961
    3. Tsanawiyah Darussalam, Labuhan Haji, 1964
    4. Aliyah Darussalam, Labuhan Haji, 1967
    5. Aliyah Banda Aceh, 1969
  • Organisasi:
    1. 1970-1972, Pengurus Partai Islam PERTI, Aceh
    2. 1974-2000: Imam Masjid Baitul ‘Alam, Kuta Alam Banda Aceh
    3. 1980-1994-Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Alam Jaya, Kuta Alam
    4. 1981-1990, Ketua Perti Kodya Banda Aceh
    5. 1982-1987: Anggota DPRD Banda Aceh
    6. 1985-1990, Wakil ketua DPC PPP Banda Aceh
    7. 1988-1993, Wakil ketua DPD PERTI, Aceh
    8. 1990-1995, Wakil Sekretaris DPW PPP Aceh
    9. 1995-2001: Wakil ketua Inshafuddin, Aceh
    10. 1998-2001: Pimpinan Daya Inshafuddin
    11. 1999-2004: Wakil ketua DPW PPP Aceh
    12. 1999-2001: Anggota DPR/MPR-RI

A. Prolog Kehidupan 


Dikalangan pengurus dan warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Aceh khususnya, serta masyarakat Aceh pada umumnya, nama Tgk. H. Nashiruddin Daud sudah tidak asing lagi bagi mereka.

Dikeluarganya beliau dipanggil “Abu” oleh anak-anak dan istrinya, suatu sebutan anak terhadap orang tua. Suatu yang sudah menjadi tradisi ditengah dan dikalangan keluarga masyarakat Aceh yang banyak menyerap istilah arab dalam kehidupan, kemudian diadopsi menjadi narasi komunikatif antara anak dan orang tua. Selain panggilan Abu, padanan kata lainnya yang juga dipakai oleh masyarakat Aceh yaitu “Abon”, dsb.

Tgk. Nash dilahirkan di Padang Kelileu, Manggeng Kabupaten Aceh Selatan (sekarang kabupaten Aceh Barat Daya setelah pemekaran wilayah) pada tanggal 31 Desember 1942. Jalur pendidikannya ditempuh pada Sekolah Rakjat Manggeng pada tahun 1958. Sebagai keluarga yang masih sangat kuat menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dan sangat mementingkan pendidikan agama, setelah menamatkan pendidikan Sekolah Ra'jat, Tgk. Nash mengenyam dan menimba ilmu-ilmu agama Islam di Pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan sejak tahun 1958-1967.

Pesantren Darussalam pada waktu itu dipimpin oleh Abuya Syeikh Haji Muhammad Muda Waly al-Khalidy, seorang ulama yang sangat masyhur, luas ilmunya dan pemahaman keagamaanya. Selama 9 (sembilan) tahun menimba ilmu di dayah Darussalam, jenjang tsanawiyah , Aliyah dan Bustanul Muhaqqiqien (setingkat perguruan tinggi).

Dikalangan teman-teman yang seangkatan dengannya di pesantren, Tgk. Nash dikenal sebagai figur santri yang cerdas dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan dan menjawab setiap pertanyaan dari teman-teman Beliau.

Kebiasannya mengangkat-ngangkat kopiah yang melekat pada kepalannya bila beliau sedang memikirkan setiap persoalan dan permasalahan seputar pengetahuan yang berkembang dalam forum diskusi maupun ketika mempersiapkan argumentasi-argumentasi yang akan disampaikan dalam forum diskusi menjadi karakter beliau, dikalangan santri-santri dayah mengatakan hal tersebut mengindikasikan bahwa Tgk. Nash sedang berfikir serius tentang argumen, dalil-dalil apa yang akan disampaikan di diskusi (drah kitab).

Pada tahun 1971, Tgk. Nash menikah dengan Rosniar, anak dari H. Hanafiah Sanany (abang kandung Kol.H. Nukum Sanany) yang bersebelahan dengan desa tempat tinggalnya, yaitu desa Kayee Aceh, Manggeng (sekarang Kecamatan Lembah Sabil setelah pemekaran). Dari perkawinannya dengan Rosniar, mereka telah dikaruniai oleh Allah SWT 3 (tiga) orang putra dan 5 (lima) putri, yaitu Abdurrauf (1973), Qusyairi (1975), Kurniati (1977), Husna (1980), Yusra (1983), Syahrati (1985), Muhammad Fadhil (1988) dan Nurbaiti (1991).

Walaupun pendidikan beliau berlatar belakang dayah namun Tgk. Nash tidak pernah bersikap otoritarian terhadap arah pendidikan anak-anaknya. Mereka diberikan kebebasan dan keluwesan untuk memilih sekolah apa yang diinginkannya, tidak mesti harus di Dayah/pesantren dan madrasah seperti jalur pendidikan yang beliau tempuh namun beliau dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Tgk. Nash mengajarkan langsung pendidikan agama untuk anak-anaknya sejak mereka berumur 7 tahun, seperti mendidik anak-anaknya untuk bisa membaca al-Qur`an dan mengajurkan dan membiasakan shalat dengan mengajak mereka berjamaah di Mesjid. Mesjid bagi beliau adalah tempat paling pertama dan utama, tak ada yang lebih penting bagi beliau selain Mesjid. Bahkan dengan santun beliau meninggalkan tamunya bila suara azan terdengar walaupun tamu terhormat sekalipun.

Beliau adalah sosok pendidik yang luar biasa, mendidik dengan ketaladanan. Hari-hari beliau, aktifitas beliau selalu dihiasi dengan sunnah Rasul, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Taka ada malam yang terlewatkan oleh beliau kecuali dalam sujud panjangnya, tak ada senin kamis yang beliau tinggalkan selain menahan rasa haus dan lapar, tak ada dhuha yang beliau lewatkan kecuali dengan bertadarus dan menghayati ayat-ayat cinta-Nya.

Beliau juga dikenal sebagai sosok yang dermawan, walaupun hidup dengan kehidupan yang pas pas an namun tidak menyurut keinginannya untuk terus memberi dan berbagi. Jadi tak heran bila beliau rela berjalan kaki dari pasar aceh kekediaman beliau dikarenakan seluruh uangnya diberikan kepada peminta minta. Hingga akhir hayatnya beliau hanya memiliki rumah yang sangat sangat sederhana, rumah yang mungkin tak layak bagi seorang anggota DPR RI.

***

B. Hijrah Ke Banda Aceh.

Perpindahan (hijrah) dari suatu tempat, daerah dan dari suatu kondisi ke tempat dan kondisi lainnya, merupakan peristiwa yang pernah dilakukan Nabi Muhammada Saw. Makna hakiki dari proses hijarah adalah harapan untuk terwujudnya perubahan-perubahan dan cita-cita yang pada setiap manusia. Demikian juga halnya dengan sosok Tgk. Nash, pada tahun 1971 beliau hijrah ke Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh

Banda Aceh sebagai pusat kota, tentunya Tgk.Nash seringkali bersentuhan dengan nilai-nilai dan pandangan yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan dalam lembaga pendidikan dayah yang sarat dengan nilai-nilai religius. Peran dan fungsi sosial keagamaan yang pertama kali ia dapatkan adalah menjadi imam mesjid Baitul `Allam-Masjid dimana Tgk. Nash berdomisili, yaitu di desa Kuta Alam. Suatu tanggung jawab yang besar tentunya, yang tidak hanya sekedar menjadi imam ketika shalat lima waktu, namun menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang timbul ditengah-tengah masyarakatnya dan bagaimana membentuk karakter manusia untuk selalu patuh dan melaksanakan ajaran Islam.

Mesjid yang mempunyai fungsi ganda sebagai tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan yang lain, termasuk didalamnya aktivitas pendidikan. Momentum hijrah ini, dimanfaatkan Tgk.Nash di Mesjid untuk mentransfer pengetahuan agama yang diperolehnya itu kepada masyarakat luas. Sudah menjadi semacam tradisi dan cita-cita bagi setiap orang untuk menjadi pengajar (guru, dosen). Karena itu bagi ulama/Kiai semua manusia harus belajar menjadi guru dalam madrasah, sekolah, pesantren atau dayah, atau di lapangan, pasar, dan di jalan-jalan. Mereka yang ilmunya tinggi atau sedikit, wajib menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya.

Halaqah sebagai pola pengajaran yang digunakannya untuk mengajarkan akan masyarakat pengetahuan agama. Mesjid Baitul `Allam menjadi basis awal bagi gerakan pendidikan yang dilakukannya. Materi-materi ajarannya (subject matter) lebih didominasi oleh corak fiqih-sufistik. Literatur yang dipakai sebagai bahan referensi adalah; untuk kajian fiqh yaitu al-Bajuri, I`anah al-thalibin, Tuhfatul muhtaj Mazahibul Arba`ah dan Bidayatul Mujtahid. Sedangkan kajian tasawuf, rujukan yang digunakan Tgk.Nash hanya Ihya `Ulumuddin, karangan Imam Al-Ghazali.

Tidak hanya masyarakat yang ada dilingkungannya yang datang untuk memperoleh ilmu darinya, tapi juga masyarakat lainnya yang berdomisili di Banda Aceh. “Ulama yang tidak memiliki dayah”, demikian sebutan yang cocok bagi Tgk.Nas. Karena memang dia tidak memiliki dan mewarisi dayah dan santri sebagaimana lazimnya ulama-ulama lainnya sekaliber Tgk. Nash. Hanya mesjid dan rumahnya digunakan untuk mengajarkan apa saja ilmu yang dia miliki. Pernah juga mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Ar-Raniry asal Malaysia dan mahasiswa setempat yang belajar di rumahnya. Biasanya mahasiswa-mahasiswa itu belajar berkaitan dengan mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi tersebut. 

Tidak hanya sebagai seorang ulama yang hanya menyebarkan ilmunya melalui ceramah dan mengajar, tapi Tgk. Nash juga sebagai wartawan surat kabar Peristiwa pada tahun 1976, ilmu jurnalistik diperolehnya melalui pelatihan jurnalis yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Medan. Melalui pengalaman menulis yang diperolehnya, ia menyebarkan apa yang diketahui dan ilmunya melalui artikel di koran.

***

C. Berpolitik Praktis

Untuk bisa mewujudkan ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh, maka kita harus berada dalam sistem yang ada. Prinsip tersebut yang mendorong Tgk.Nash untuk terlibat langsung dalam dunia politik Keterlibatan dan kiprahnya dalam politik praktis berawal setelah dia bergabung dan menjadi pengurus partai Islam Perti Aceh pada tahun 1970-1972. Setelah Perti kembali pada khittahnya (tidak lagi ikut serta keterlibatan dalam politik) sebagai organisasi masyarakat yang concern pada wilayah sosial kemasyarakatan dan pengembangan pendidikan, kemudian Tgk. Nash bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan Aceh (PPP)-mewakili unsur PERTI yang berfusi ke PPP tanggal 5 Januari 1973. 

Keseriusan dan keterlibatannya di panggung politik menjadikannya sebagai salah satu politisi yang berasal dari kelompok ulama. Kehidupan politik menjadi bahagian dari kehidupannya yang tidak bisa dipisahkan dengan konsep hidupnya “amar ma`ruf nahi mungkar”. Tgk. Nash tidak hanya menerapkan strategi kultural (cuktural strategies) dalam menjalankan konsep tersebut, tapi juga strategi struktural dilakukannya. Kedua strategi itu, satu dengan lainnya bersifat saling melengkapi (komplementer), bukannya bersifat mutually exlusive.

Strategi kultural digunakannya sebagai tujuan untuk mempengaruhi perilaku sosial (cara berfikir masyarakat) kearah penerapan kehidupan keberagamaan yang lebih baik dan tertata rapi. Dakwah dan pengajian merupakan cara dari strategi kultural yang menitik beratkan penekanan pada agama sebagai moral force atau inspirational. Cara inilah yang paling sering dilakukan Tgk. Nash. Disisi lain, dia menerapkan pula strategi struktural, dimana peran politik sangat dominan. Karena itu keterlibatan langsung Tgk. Nash dalam perpolitikan merupakan kesadaran kritisnya bahwa perilaku-perilaku dan tatanan kehidupan dapat berubah kearah yang lebih baik, dapat dilakukan dengan mempengaruhi struktur politik (legislatif, eksekutif).

Amar ma`ruf nahi mungkar, sudah menjadi prinsip hidup Tgk. Nash, bahwa hidup ini harus sejalan dan didasarkan pada tatanan kehidupan Islami-agama menjadi petunjuk untuk perilaku, misalnya perilaku politik, birokrasi dan industru budaya. Prinsip tersebut kemudian diwujudkannya ketika dia terpilih sebagai wakil rakyat (DPRD Kodya Banda Aceh periode 1982-1987) pada pemilu 1982. Tgk. Nash berpandangan bahwa fungsi pemerintah memberikan jaminan layanan bagi masyarakatnya secara baik dan memuaskan quality ensure, serta bagaimana menjamin kesejahteraan mereka. 

Konsep tersebut, selama ini juga diusung dan menjadi jargon bagi gerakan-gerakan mahasiswa dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perbedaan bahasa dan term yang menjadikannya seolah-olah berbeda antara apa yang diperjuangkan kelompok ulama dengan aktivis LSM-yang dalam setiap gerakan-gerakan mereka menggunakan tema-tema dan issu penindasan terhadap rakyat. 

Subtansi arah dan tujuan kedua kelompok masyarakat itu sebenarnya bermuara pada satu visi, yaitu sama-sama mengkritik kebijakan pemerintah yang telah kehilangan arah bagi pemihakan terhadap rakyat. Demonstrasi dan aksi-aksi di jalan merupakan media yang sangat dominan yang dilakukan oleh aktivis mahasisw dan LSM untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Sedangkan kelompok ulama memanfaatkan khutbah dan ceramah, baik di mesjid maupun tempat lainnya sebagai momentum untuk melakukan kritik-kritik berbagai persoalan kehidupan masyarkat. Kalau aktivis mahasiswa dan LSM dalam setiap gerakannya sudah terorganisir dengan baik, dan memeliki agenda secara kolektif, maka pada kelompok ulama, kritik itu sering muncul pada personal ulama yang bersangkutan.

Keprihatinanya terhadap dekandensi moral generasi muda Aceh yang disebabkan oleh faktor penanyangan film yang berbau pornografi di Bioskop dan di panggung hiburan rakyat (PHR) dan poster-poster porno. Kritik dan protes keras yang dilakukan Tgk.Nash dengan merobek poster-poster porno di PHR Puda Kuta Alam Banda Aceh (berdekatan dengan tempat tinggalnya) membuat dia ditangkap dan harus berurusan dengan pihak kepolisian karena adanya laporan keberatan dari pemilik dan pengelola PHR Puda. 

Kritik tajam terhadap kebobrokan pemerintah kerap kali disampaikannya pada setiap ada kesempatan. Ketika Tgk. Nash berkampanye untuk Partai Islam Perti tahun 1970 di kabupaten Pidie , materi kampanye yang disampaikannya membuat pemerintah Aceh tersinggung, dan beliau ditahan selama dua bulan. 

Kritik yang disampaikannya terhadap Golkar sebagai penguasa Orde Baru saat itu pada sidang-sidang di DPRD Kodya Banda Aceh (pada Tahun 1982-1987 sebagai anggota DPRD Kodya Banda Aceh), banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot karena kritikan itu dan mengharuskan pemerintah membuat catatan-catatan khusus dan track record jelek atas diri Tgk.Nash (“tinta merah”, istilah yang biasa digunakan pemerintah Orba, ditujukan terhadap personal dan institusional yang mengkritik dan melawan kebijakan pemerintah serta orang yang dianggap ekstrem).

***

D. Fitnah Politik dan Akhir Perjalanan Hidupnya



“Politik itu kejam atawa jahat”, “tidak ada lawan yang abadi, tidak ada kawan yang sejati”, suatu kamus dan kitab suci yang sering berlaku dikalangan politisi.

Tgk. Nash sebagai salah satu dari sekian ulama di Aceh yang berkiprah dalam dunia politik praktis. Sulit memang bagi figur ulama untuk menggeluti dunia politik, karena opini dan asumsi-asumsi yang terbangun tentang politik selama ini sebagai sesuatu yang jahat. Kita tidak dapat menyalahkan pernyataan itu, karena bukti empirik telah mengindikasikannya.

Persoalan sebenarnya adalah bagaimana seseorang memposisikan dan memperlakukan politik pada dirinya. Demikian juga halnya dengan ilmuwan yang terjun dalam pilitik, dia akan terkoptasi dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kelompok.

Salah satu bias-bias politik, yang secara langsung dapat dirasakan, diamati dan dibaca adalah pada saat berlangsungnya suksesi kepemimpinan daerah. Dukung mendukung merupakan fenomena yang sudah lumrah terjadi. Bila kandidat lawan yang terpilih, maka sang politikus itu akan mendapati rintangan, dan boleh jadi karir politiknya akan kandas di tengah jalan dan akan berakhir. Tahun 1986 merupakan suksesi gubernur dari kepemimpinan Teuku Hadi Thayeb untuk periode 1986-1993.

Kandidat yang muncul saat itu dan merupakan titipan pemerintah pusat melalui Golkar adalah Ibrahim Hasan. Dikalangan ulama dayah Aceh yang dimotori oleh Tgk. Nash, menginginkan Teuku Hadi Thayeb menjabat kembali sebagai gubernur Aceh untuk periode selanjutnya. Bulan Februari 1986, Tgk. Nash berinisiasi mengumpulkan tanda tangan ulama dayah yang ada di Aceh (persetujuan dalam mendukung kembali Hadi thayeb sebagai gubernur Aceh). Selanjutnya dukungan tersebut disampaikan kepada presiden Soeharto di Jakarta.

Delegasi yang hadir saat itu salah satunya Tgk. Nash, tapi mereka ditolak untuk bertemu Soeharto dan hanya diterima oleh Mensekneg-Soedharmono (Ketua Umum DPP Golkar) dan hanya menyampaikan surat yang berisi aspirasi ulama dayah Aceh tentang penolakan terhadap pencalonan Ibrahim Hasan dan mempertahankan Teuku Hadi Thayeb sebagai gubernur Aceh periode untuk kedua kalinya. Surat itu tidak pernah direspon oleh pemerintah pusat, dan bulan Mei 1986 Ibrahim Hasan terpilih sebagai Gubernur Aceh periode 1986-1993.

Menjelang pemilu 1987, beberapa bulan pasca suksesi gubernur selesai, Tgk. Nash menghadapi berbagai rintangan dalam karir politiknya di PPP. Pada saat penyusunan Calon legislatif sementara (Caleg) DPRD Tk.I Aceh, namanya dicoret dari daftar Caleg asal PPP. Alasan Panitia Pemilu saat itu, karena adanya surat dari Dinas Sosial Politik Aceh yang menyatakan bahwa Tgk. Nash terlibat salah satu dari ormas PKI. Bagi masyarakat Aceh pernyataan itu merupakan sesuatu yang tidak logis, tidak masuk akal sehat tentunya, hanya orang-orang yang sudah rusak pikirannya-tidak untuk menyatakan sudah gila, menuduh seorang ulama sebagai PKI.

Bagaimana mungkin Tgk. Nash yang idiologinya mengakui akan adanya Tuhan, kemudian dituduh PKI yang sama sekali tidak mengakui Tuhan, berideologi komunis? Suatu hal yang absurd.

Tgk. Nash sudah mulai menuai hasil dari kritik-kritik tajam dan ketidak senangannya pada pemerintah Orde Baru.-yang sedang gencar-gencarnya ingin memenangkan dan mengibarkan bendera kuning (Golkar) di Aceh. Tugas inilah yang pertama kali dipikul Ibrahim Hasan sebagai gubernur Aceh pada pemilu 1987.

Sejak pemilu 1977 dan 1982 Aceh merupakan basis dan menjadi milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Yang menjadi hambatan bagi kemenangan Golkar di Aceh, salah satunya adalah karena adanya fatwa dan sikap secara terang-terangan dari beberapa ulama mengharamkan Golkar untuk dipilih oleh kelompok pengikutnya.

Pada pemilu 1999, Tgk. Nash kembali lagi dalam percaturan politik setelah 12 (dua belas tahun) tidak aktif lagi. Kepercayaan rakyak memilihnya, menghantarkannya menjadi Anggota DPR/MPR-RI di senayan Jakarta (Wakil ketua Fraksi PPP DPR-RI) asal pemilihan Aceh Selatan.

Dengan berbagai amanah yang dipikulnya dan belum sempat dilaksanakannya serta diperjuangkannya, pada tanggal 25 Januari 2000 Allah Swt mentakdirkan Tgk. Nash menghadap Sang Khaliknya setelah jenazahnya ditemukan meninggal di Pancor Batu Sumatera Utara.

Tgk. Nash diculik oleh sekelompok orang yang tak dikenal di Medan pada tanggal 25 Januari 2000 setelah kembali dari tugas bersama Tim Forka di Banda Aceh. Jenazah yang sudah sempat dikuburkan di pemakaman umum Delitua itu yang sudah berumur tiga hari, pada tanggal 1 Februari 2000 digali kembali, setelah anak kandung dan kerabat almarhum serta kolega almarhum diantaranya Abdullah Saleh, SH yang datang ke Medan, memastikan bukti-bukti (antara lain baju) yang ada pada pihak rumah sakit dan polisi adalah milik Tgk Nashiruddin Daud.

Saat kondisi Aceh sedang tidak menentu, pembunuhan dan penculikan terjadi dimana-mana serta eskalasi politik Aceh yang kian memanas. Hasil visum dari rumah sakit Adam Malik Medan menunjukan bahwa dia meninggal akibat lehernya dijerat tali dan pendarahan yang serius di kepalanya akibat benturan benda tumpul.

Seperti diketahui, Tgk Nashiruddin Daud yang juga Wakil Ketua DPW-PPP Aceh termasuk Wakil Ketua Pansus Aceh DPR-RI yang independen mempertanyakan berbagai kasus yang terjadi di Aceh pada masa DOM lalu. Ketika Pansus (Panitia Khusus) DPR-RI memanggil para dan mantan jenderal yang diduga kuat terlibat dalam kasus Aceh, Tgk. Nash sempat mengintrupsi seorang purnawirawan jenderal.

Saat itu, seorang purnawirawan Jenderal sedang memaparkan berbagai masalah kerusuhan di Indonesia. Tiba-tiba Tgk Nashiruddin melakukan interupsi, karena yang dijelaskan oknum purnawirawan jenderal itu sudah keluar dari permasalahan yang sedang dipertanyakan.

“Saudara jangan ceramahi kami di sini dan tolong saudara jawab apa yang ditanyakan wakil rakyat tentang masalah Aceh yang sebenarnya.”

Saat kondisi Aceh sedang tidak menentu di tahun 2000, pembunuhan dan penculikan terjadi dimana-mana serta eskalasi politik Aceh yang kian memanas.

Disela-sela kunjungan kerjanya ke Banda Aceh (dua puluh hari sebelum meninggal), Tgk. Nash memberikan ceramah sebagai khutbah terakhirnya di Mesjid Baitul `Allam tentang kondisi dan situasi Aceh saat ini. Dalam ceramah dan khutbahnya, ia mengungkapkan bahwa nyawa manusia sekarang ini di Aceh sudah tidak berharga, tidak bernilai sama sekali, dan kita sangat gampang membunuh orang karena perbedaan dan berlainan persepsi, tanpa adanya perasaan dosa dan takut akan ancaman Allah SWT.

Apa yang disampaikan dalam khutbah terakhirnya, pun terjadi pada dirinya.Ini merupakan takdir Allah atas dirinya. “Seorang kamu tidak satupun mengetahui di bumi, daerah manakah kamu akan meninggal” Tgk. Nash terlahir di Manggeng Aceh Barat Daya, dan akhir hidupnya Allah menakdirkan di Medan Sumatera Utara. Semoga segala amal ibadah sosialnya diterima disisi Allah Swt.dan dia memperoleh pahala syahid dari kematiannya yang dizhalimi oleh orang.

Selamat jalan Abu kehidupan di alam sana jelas lebih membahagiakan dan jauh dari kepura-puraan. Kami anak-anak mu sudah mengikhlaskan kepergianmu menghadap sang Khaliq dan kami sudah menyampaikan kepada pemerintah dan IPU (Organisasi Parlemen Dunia) untuk menghentikan penyedikan kasus ini, kami yakin Allah Swt sudah memilih jalan yang terbaik untukmu Abu.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu yang mengridhai hambanya," Lahu Al-Fatihah....

**Penulis:  Qusyairi dan Syahrati (Anak almarhum Tgk Nashiruddin Daud) 

0 komentar:

Posting Komentar

جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Postingan Populer