PD OPI Aceh

Tidak Ada Kemenangan Tanpa Kekuatan dan Tidak Ada Kekuatan Tanpa Persatuan

Organisasi Pelajar Islam (OPI)

Intelektual, Integritas, Akhlakul Karimah

www.pdopiaceh.com

Dikelola oleh Bidang Informasi dan Komunikasi PD OPI Aceh

Kabid Infokom

Sabtu, 31 Maret 2018

ANAKKU SEORANG AKTIVIS



Orang bilang anakku seorang aktivis.
Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana.
Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat.
Orang bilang anakku seorang aktivis.
Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak?
Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis.
Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.
Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak?

Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak. Tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku, kita memang berada di satu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu nak?
Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu.
Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.
Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu.

Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu.
Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.

Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak.
Tapi bukankah aku ini ibumu, yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak.
Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu.
Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu.

Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak?
Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu?
Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak?
Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.
Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu.

Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan.
Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?
Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu.
Buku agenda sang aktivis.
Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat di sana sini.
Ada jadwal mengkaji, ada juga jadwal untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya.
Di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.
Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana.
Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu, sejak kau ada di rahim ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu, selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku.

Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.
Boleh ibu bertanya nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu?
Di mana profesionalitasmu untuk keluarga?
Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat.

Ah, waktumu terlalu mahal nak.
Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu. 

© Infokom PD OPI Aceh

Minggu, 25 Maret 2018

KETIKA CINTA KARENA ALLAH*

Manusia tentu merasakan yang namanya indah ketika jatuh cinta mengetuk pintu hatinya. Namun juga merasakannya sedih dan sakit hati yang mendalam ketika cinta tak lagi ada dalam hatinya. Hanya saja bagaimana cinta hakiki yang seharusnya dapat dirasakan serta disyukuri atas karunia yang ada. Tidak salah ketika cinta hadir dalam hidup, tapi menjadi salah bila cara dan perilakunya yang sangat berlebihan karenanya yang tertuju hanya kepada manusia.

Sebuah anugerah bila dapat merasakan cinta yang begitu dalam. Seakan menyatu untuk menghiasi warna kehidupan dan senantiasa memberikan kebahagiaan serta kenyamanan. Cinta inilah yang seharusnya dijaga ketika cintanya karena Allah atas nama Tuhan dan atas nama Hakikat cinta. Tak mudah rasa itu menjadi cinta bila tidak adanya kesyahduan dan kebersamaan yang timbul dalam sebuah rasa maupun perasaan. Maka mencintai dan dicintai mesti dilakukan tanpa harus menjadi bagian salah satunya.

Ketika cinta karena Allah maka proses muhabbah mulai dibangun serta merasuki jiwa hingga menggetarkan hati. Selanjutnya akan mencapai proses muroqobah yakni akan semakin dekat dan mendekati untuk berada lebih menyatu dengan aliran yang syhadu dan seirama. Ketika Allah di hati maka manusia yang dicintai akan menjadi anugerah yang terindah yang diciptakan Allah atas ridho dari Nya. Andai pun manusia itu nantinya atau pada akhirnya pergi atau menghilang atau justru berubah haluan hati, maka cinta hakiki ini tak akan pernah pudar dan sirna.

Sebesar apapun cinta ini Karena Allah atau mencintai Allah dengan setulus-tulusnya dan sedalam-dalamnya, tidak akan mampu melampaui dan melebihi cinta Allah atas manusia sebagai hamba Ciptaan-Nya. Maka berusahalah untuk terus mencintai secara hakiki, meski masih tak sebanding namun itu menjadi bukti suci yang tulus ikhkas dari hati. Bila saja terkadang cinta masih jatuh dalam ruang dan dimensi dunia pada manusia yang dapat membutakan hati, akal dan pikiran. Maka segeralah mencintai yang Maha Pemberi Cinta, sebelum terlena dan jatuh terlalu dalam bila cinta hanya pada manusia yang suatu saar secara takdir manusia itu sendiri pun tidak akan tahu apa kejadiannya.

Cintailah Maha Cinta karena Sang Cinta telah memberi lebih Cinta-Nya pada siapa saja, termasuk kepada para sang pemburu cinta dan pemuja cinta bahkan penyanjung cinta yang hakikatnya cinta itu mengalir langsung pada Maha Cinta. Begitu rumit dan begitu abstrak serta sulit dijelaskan maknanya satu per satu, tapi yakinlah bahwa apa yang menjadi kecintaan berawal dari kegembiraan dan berujung pada hakikat penghambaan karena akhirnya akan dikembalikan. Dalamnya cinta tak akan terukur luasnya cinta tak akan tersebrangi karena hadirnya cinta tak sekedar hawa nafsu yang menggelora di dada, melainkan sebuah hakikat ketika cinta karena Allah sebelum terlambat.

Sampai di mana kisah perjalanan cinta itu menjadi sebuah sejarah yang menghiasi kehidupan. Karena menemukan tafsir cinta yang maknanya tak mampu dilalui akal secara logika. Ada namun seperti tidak ada, bahkan terasa namun seperti tak terasa. Maka mencintalah karena keridhoan dan mencintailah karena keikhlasan serta bercintalah karena kesabaran agar senatiasa cinta dekat hanya karena Allah bukan hanya sebatas cinta pada manusia, namun cinta manusia pun hanya karena dan untuk Allah semata yang pada akhinya dikembalikan seutuhnya kepada-Nya.

***


*Penulis: Hanif Zakwan,
  Mahasiswa Strata 1 Pendidikan Teknik Elektro Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

© Infokom PD OPI Aceh

CINTA YANG LUPA RASA*



Cinta selalu sulit dinalar, ia tak berwujud tapi nyata, seperti angin yang tidak bisa dilihat tapi hembusan dan semilirnya begitu terasa.

Sungguh, berbicara cinta, sulit diungkap dengan kata-kata, ia mati tapi bernyawa, pingsan tapi sadar. Tidak sedikit wali-wali Tuhan yang Jadzzab, seperti gila tapi ia sadar akan Tuhan, sebaliknya banyak orang yang bilang cinta Tuhan tapi tak pernah tahu rasa betapa mencintai-Nya adalah sebuah kemesraan.

Seperti hikayat Qais dan Laila, betapa cinta Qais menjadi opus cinta kepada sang kekasih Laila, hingga tak ada ucapan yang pantas untuknya kecuali kegilaan cinta.

Suatu hari Qais melihat Laila, ia pun bergegas membuntuti Laila untuk mengetahui tempat kekasihnya, maka dia melewati sekelompok orang yang sedang melaksanakan sholat, ketika Qais kembali dari membuntuti Laila, dan  melewati sekelompok orang tadi, ia ditanya oleh seseorang; "kau tadi melewati jalan kami, sedangkan kami lagi sholat, mengapa kau tidak sholat bersama kami?". Qais menjawab: " demi Allah aku tidak melihat kalian, dan demi Allah jika kalian cinta kepada Allah sebagaimana cintaku kepada Laila, maka kalian tidak akan melihatku ketika menghadap Allah, namun nyatanya kalian masih melihatku, sedangkan aku menghadap Laila, dan aku tidak melihat kalian..... Ulangilah shalat kalian semoga kalian dirahmati oleh Allah swt"

Sungguh, sebuah nalar cinta, ketika cinta membuat lupa segala rupa di luar dirinya, sebagaimana juga Sayyidina Ali ketika tombak menikamnya, dicabut tak terasa ketika sholat.


Betapa mengaku cinta pada-Nya, terkadang sulit menilainya, karena melupakan-Nya lebih sering dari mengingat-Nya. Ya Allah, jagalah hati tuk selalu terpaut padaMu. 

***


*Penulis: Halimi Zuhdy @halimizuhdi3011

© Infokom PD OPI Aceh

Berbeda Itu Cantik, tapi, tuk Cantik tidak Harus Beda*



Indahnya pelangi, bukan karena menebar wangi, tapi warna-warni yang mengitari

Warna hijau hanyalah pilihan, maka janganlah terlalu fanatik pada hijau, bunga yang indah, warnanya pun jarang yang hijau. Indahnya bunga, merah yang merekah.

Jangan pula terlalu mati-matian membela merah, ia pun rasa hati, manusia takut melihat warna peduh darah yang memerah, perang jadi pilihan. Butuh warna kuning, tuk membau masa tua.

Tapi, janganlah terlalu pongah pada kuning, kebanyakan yang keluar dan membau keluar dari diri manusia dan hewan adalah warna itu, nikmatilah kuning sebagaimana ia menikmati menjadi dedaunan yang akan menua.


Jangan pula kau terlalu bangga, walau biru selalu di atas langit, biru pun kadang menghempaskan perahu di lautan menjadi karam. Biru itu pilihan warna, ia tak indah kalau tak pernah ada awan putih yang mengitarinya.

Putih pun, janganlah kau sombong dan sok suci, putih itu tak pernah indah, jika mata hanya dipenuhi warna itu, seperti kematian yang menjemput, pada nafas terakhir pun warna itu yang membungkusnya. Benar, kau harus suci putih bersih, tapi ingat, kau tak pernah putih, jika hitam tak pernah ada, dan kau dapat melihat dunia, karena dalam matamu hitam yang membayang.
Kau pun jangan terlalu bangga dengan hitam, walau setiap bulu dan rambutmu menghitam, tapi hitam itu selalu dianggap jelek, karena gelap, walau dalam gelap itulah kadang keindahan untuk bersembunyi dari musuh yang menyerang.

Hidup hanyalah pilihan warna, dan warna itu pun adalah dasar dari pemberian Tuhan, lihatlah kulit yang tak sama, ada; hitam, kuning, coklat, sawu matang, dan lainnya.
Selalu nikmatilah perbedaan, walau kadang kita tidak suka tuk berbeda, apakah kau mau hidup sendirian di dunia?.

Berbeda butuh hati yang lapang, karena nafsu lebih suka tuk menyatukan rasa, lupa berbagai rasa itu nikmat yang tak terhingga. 
Berbeda mazhab, partai, haluan. Berbeda negara, kampung, pendidikan, jenis dan lainnya adalah keindahan.

Indah itu tidak harus sama, cantik itu juga tidak harus menyatu, perahu bisa bergerak karena ada yang menjadi nakhoda, gelombang, angin, dan ada pula yang jadi dayungnya.

Kalau Allah Menghendaki, niscaya kamu Dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak Menguji kamu terhadap karunia yang telah Diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
(Al-Ma’idah 48)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).”
(Al-Hujurat 11)

Bersatulah walau kadang berbeda, satu bukan sama. seperti, menyatunya lidi yang berbeda. 

Dan janganlah takut berbeda, kelahiran manusiapun sudah tak pernah sama


***



*Penulis: Dr.H. Halimi, M.Pd., M.A.
@halimizuhdy3011
Dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Ketua Redaksi Jurnal LiNGUA Humaniora UIN Malang, 
Khadim Pondok Pesantren Darun Nun Malang







© Infokom PD OPI Aceh

Bagaimana Islam Memandang Perbedaan Pendapat



Zaman ini terkadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak punya pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan (takfiri). Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan kebohongan pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.

Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Sunnatullah. Ada yang suka warna biru. Ada yang merah. Rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.

Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Dalam bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Ibnu Qudamah selain melihat pandangan 4 mazhab yang masyhur ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau pakar ijtihad atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Tasamuh terhadap Perbedaan Pendapat


Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Hambali (Ahmad bin Hambal) pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab hambali (hanabilah) sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Hambali demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah kala itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah


Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa’igh al maqbul.

Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik haji yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat ‘id, dan redaksi shalawat nabi yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul, ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.

Sikap seharusnya terhadap perbedaan pendapat:
  1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;
  2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;
  3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;
  4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

 Khilafiyah yang Tercela


Di samping khilafiyah dalam masalah furu’iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama (biasa disebut tsawabit atau ma’lum minad diin bid dharurah atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).

Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang sahih.

Gugatan kepada pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat (jumhurul muslimun). Terkait dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Sayyidina Ali berikut: Imam Ali bin Abi Thalib Karimallahu Wajhah berkata, “Akan muncul pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah.” (Riwayat al Harawi)

Pernyataan Sayyidina Ali tidak berlebihan. Sayyina Umar bin Khattab, bahkan telah terlebih dahulu mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat ad Darimi)

Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela


Al Khilaf al Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu’ tadi kita menyaksikan toleransi (tasamuh) dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.

Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, seorang ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)

Ini adalah contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Abdullah bin Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi. Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i, yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, “Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.

Al khilaf al madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran (tasamuh). Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri.

Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannya serta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik ajaran Islam. Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?

Cara Nabi Menghadapi Perbedaan


Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qathi, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.

Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Quran memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). Faqrauu maa tayassara minhu, sabda Rasulullah SAW, maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya. Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.

al-Imam Al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda pada peristiwa Ahzab:
 “ Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”

Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.

Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (yaitu Nabi Muhammad). Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus. Abu Hurairah lalu menjawab, Ya Allah, benar (aku telah medengarnya). (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasai [709] dan Ahmad [20928]).

Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan Rasul-Nya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.

Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bershalawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!

Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:

Anas bin Maalik berkata: Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah SAW semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]

Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok takfir menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.

Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 H.

Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.

Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) *[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa’ 78-79]

*[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud AS. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman AS memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman AS ini adalah keputusan yang tepat.

Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)

Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:

“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).

Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.

Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :

Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :

“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).

(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).

Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita baca, itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani).

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.

Dalam khazanah Islam, para ulama salafushshalih dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

Kalau sekarang kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa ulamanya berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular” segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari mereka?

Adab Berbeda Pendapat dalam Islam


Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Tidak Menjelekkan

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

3. Cara yang Baik

Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl: 125).

Munazarah atau berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.

6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma dan yang Diperselisihkan

Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah SWT tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286).

“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah SAW., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah SAW., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).

Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.

Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al Hujuraat 11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa’ 78-79] demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.


Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka kitalah yang sesat.



Seluruh bumi ini akan terasa sempit 
jika kita hidup tanpa toleransi (tasamuh) 
namun jika hidup dengan perasaan cinta 
meski bumi sempit kita kan bahagia melalui perlaku mulia dan damai (salam) 
sebarkanlah ucapan yang manis 
hiasilah dunia dengan sikap yang hormat 
dengan cinta dan senyuman sebarkanlah diantara insan 
Inilah Islam agama perdamaian



© Infokom PD OPI Aceh

Jumat, 23 Maret 2018

WAHAI PEMUDA ISLAM BANGUNLAH!*



Indonesia. Sebuah bangsa dengan penduduk nomor empat terbesar di dunia. Negara yang telah lebih 70 tahun merdeka. Negara dengan muslim terbanyak di dunia. Negara yang kaya raya melimpah SDA dan SDM nya. Indonesia yang besar itu, kini seakan sedang berada dalam ujung tombak. Dengan utang negara yang membludak, korupsi dan kejahatan yang merajalela serta banyak lagi masalah yang menggerogoti negara tercinta. Padahal usia reformasi negeri sudah hampir berumur 20 tahun. Padahal juga sudah hampir lima tahun, Revolusi Mental digaungkan. Tetapi mengapa tidak nampak perubahannya? Siapakah yang patut disalahkan? Apakah petinggi-petinggi bangsa sudah optimal kinerjanya? Apakah pemuda belum mengoptimalkan perannya? Karena faktanya, negeri ini justru semakin pelik dengan berbagai persoalan yang membelit rakyatnya.

Pemuda hari ini tengah berhadapan dengan banyak tantangan. Setelah reformasi 1998 yakni diberlakukannya SKS dalam dunia perkuliahan nyatanya ampuh membuat pemuda mencukupkan sibuk melawan tugas, paper, presentasi, makalah, maupun praktikum. Banyak yang tidak terpikirkan lagi jati dirinya sebagai agent of change bagi lingkungan sekitarnya dan terkonidisikan cuek, apatis, pragmatis bahkan individualis. Siapakah yang patut disalahkan? Apalagi ada kabar dari beberapa petinggi kampus bahwa pemerintah sedang menggodok pemberlakuan batas kuliah di PTN maksimal 5 tahun saja. Lagi dan lagi pemuda seakan dipaksa menjadi pragmatis demi gelar-gelar pendidikan semata.

Individualisme sudah banyak membuat pemuda tidak sempat memikirkan secara seksama solusi tuntas persoalan bangsa. Sistem kehidupan di Indonesia sekarang yang menerapkan Kapitalisme dengan asas Sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan) dan Liberalisasi (prinsip kebebasan) yang berasal dari Westernisasi pun telah menjangkiti jiwa-jiwa pemudanya. Seperti halnya mindset kesuksesan dan kebahagiaan hidup hanya dapat diukur dengan materi.

Maka implikasi setelah itu adalah bagaimana cara mendapatkan nilai tinggi untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar dengan berbagai cara agar dapat hidup kaya raya. Bahayanya, sistem ini jelas menghilangkan jati diri dan potensi pemuda.Tidak hanya itu sistem ini pun nyatanya berhasil memandulkan dan menjebak potensi pemuda dengan tujuan duniawi semata.

 Agen Perubah


Begitu pula dengan yang terjadi pada negeri ini, aturan liberalisasi melahirkan berbagai UU swastanisasi dan privatisasi SDA maupun pelayanan publik yang tidak memihak pada rakyat tapi jusru berpihak pada pemilik modal (Kapital). Negara abai terhadap berbagai tanggungjawab utamanya. Hal tersebut menjadi wajar diberlakukan sebab sistem ini meyakini negara hanya sebatas sebagai regulator/fasilitator bukan pengurus keseluruhan. Ini yang tidak boleh dan mesti diubah.

Harus disadari oleh pemuda, bahwa Indonesia adalah bagian dari bumi yang diciptakan oleh Allah. Maka Dia berhak mengatur kehidupan ini dengan sebuah pedoman yakni dengan syariah Islam bersumber dari wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah perintahkan manusia untuk wajib masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak setengah-setengah, dan tidak pilih-pilih. Allah perintahkan juga agar penguasa bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap kepengurusan rakyatnya, tidak hanya sebagai regulator.

Maka sudah sewajarnya jika negeri ini pun diatur dengan syariahNya dan menjadikan asas aqidah Islam mindset pemuda dalam merubah sebuah kondisi/lingkungan. Sebab syariah Islam hadir untuk semua agama, ras, suku, dan bangsa seperti peradaban yang pernah dicontohkan oleh suri tauladan Rasulullah SAW saat pertama kali mendirikan negara Madinah. Hukum menegakkannya adalah wajib. Pemuda harus saling merangkul mewujudkan cita-cita mulia ini sebagai solusi tuntas atas berbagai persoalan yang menimpa.

Tapi hari ini, sayangnya pemuda yang kritis mengoreksi kebijakan pemerintah rupanya selalu dihalang-halangi. Komunitas kepemudaan, organisasi, ormas yang selalu menyerukan solusi Islam dari Sang Pencipta kehidupan dihambat. Seperti yang baru saja terjadi dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU adalah disebabkan keengganan penguasa menerima solusi mulia ini. Padahal terang-terangan sejarah menjabarkan betapa sejahteranya sebuah peradaban dimana Islam diterapkan didalamnya. Hal ini semakin menggambarkan bahwa kepentingan pemilik modal tidak boleh diusik.

Kita tidak hanya membutuhkan pemimpin yang amanah tetapi kita juga membutuhkan sistem yang amanah. Disinilah peran strategis bagi pemuda yakni mengubah kondisi dari asas yang keliru (sekulerisme) kepada asas yang shahih yakni yang berasal dari wahyu ilahi dengan mengembalikan peradaban yang dirahmati Allah itu sekali lagi. Yang demikianlah perubahan hakiki.

Maka berbagai potensi, semangat, tenaga, waktu  yang dititipkan Allah hanya kepada pemuda mestilah dikembalikan pada pemiliknya. Mengkaji  Islam keseluruhan dan menyampaikannya ke khalayak adalah jawaban agar masyarakat mau dan dengan sendirinya meminta kehidupan yang rahmat yakni dengan sistem Islam tentunya.

Pemuda Dalam Islam


Berbicara pemuda, kita berbicara pemimpin masa depan suatu bangsa. Jika konteksnya pemuda Indonesia, maka kita sedang membicarakan kepemimpinan masa depan bangsa Indonesia. Itulah yang dikatakan al-Imam asy-syahid Hasan al-Bana: “Syabab al yaum rijalul ghad Pemuda hari ini, adalah pemimpin masa depan.

Hasan al-Bana menggambarkan sosok pemuda, “Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang dijalan-Nya, semakin bersemangat merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.

Dan keempat rukun ini, yakni iman, ikhlash, semangat dan amal merupakan karakter yang melekat pada diri pemuda! Karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda”

Peran pemuda yang strategis dan penting ini sampai di gambarkan oleh sahabat Rasulullah SAW yaitu Umar bin Khattab RA, dalam keterangan Hadist dijelaskan bahwa Umar pernah mengatakan: “Jika aku sedang mengalami kesulitan, maka yang aku cari adalah pemuda.”

Karena melalui pemuda lah bangsa ini mampu lahir, bangkit, berdiri dan berjalan menjadi bangsa yang berdaulat dengan berbagai dinamikanya. Sejarah pun telah menorehkan tintanya, bahwa dalam setiap momen penting bangsa ini, senantiasa melibatkan pemuda sebagai lokomotif penggeraknya, aktor intelekualnya dan rahasia kekuatanya. Dalam setiap kebangkitan pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap pemikiran, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.

Dengan ini pula, Rhoma Irama pernah berkata, bahwa “masa muda adalah masa yang ber-api-api”. Karena memang semangat dan idealisme seorang pemuda telah membakar motivasi dirinya untuk senantiasa berkontribusi untuk agama, bangsa dan negara ini lebih baik lagi. Belum lagi ketika kita mengingat perkataan Tan malaka tentang pemuda. Beliau mengatakan bahwa “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”.

Mengelola masa muda agar berkarakter kuat dalam keagamaan, merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah dan sederhana. Sebab pertentangan yang paling berat dan sulit serta menantang dalam fase kehidupan kita adalah menundukkan masa muda untuk tumbuh dalam beribadah kepada Allah (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah).

Itulah sebabnya Rasulullah menyebutkan di antara tujuh golongan yang memperolah naungan pada saat tiada naungan kecuali naungan dari-Nya pada hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh dalam kerangka beribadah kepada Allah SWT.

Ada ungkapan dalam sastra Arab yang melukiskan sebuah penyesalan di masa beruban. “Aduhai alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini, akau akan menceritkan kepahitan pada masa beruban.”

Mencermati dinamika kehidupan yang fluktuatif dan terus berubah, para pemuda Muslim dituntut memiliki modal kuat khususnya dari ajaran Islam, agar kelak di masa tua tak menyesal.

Setidaknya ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki para pemuda Muslim hari ini; mencakup daya pikir (ijtihad), daya kalbu (mujahadah), dan daya raga (jihad) dalam arti yang seluas-luasnya.Termasuk jihad peradaban (kehidupan) di mana memilih hidup dalam kemuliaan Islam dan meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

 Perhatian Islam Kepada Pemuda


Agama kita Islam yang mulia ini mempunyai perhatian yang sangat besar mengenai pertumbuhan dan perkembangan para pemuda, karena merekalah yang akan menjadi tokoh di masa yang akan datang, yang akan menggantikan dan mewarisi tugas-tugas mulia kepada ummat ini.

Berikut beberapa tuntunan Islam yang berkaitan dengan pemuda;

  • Pertama, Islam menuntunkan setiap lelaki untuk memilih istri yang sholihah yang akan lahir darinya anak-anak yang sholeh yang selanjutnya tumbuh menjadi para pemuda yang berakhlak islami.
  • Kedua, memberikan nama yang baik kepada anak, karena nama yang baik itu juga memiliki makna dan pengaruh yang baik pada akhlak sang anak, karena dia merupakan lambang dari doa atau harapan orang tua kepada Allah tentang anaknya.
  • Ketiga, melaksanakan nasikah/aqiqah untuk anak, karena hukumnya adalah sunnah mu`akkadah dan memiliki pengaruh yang baik kepada anak.
 Ketiga perkara di atas adalah tuntunan Islam kepada para pemuda di awal pertumbuhannya.
  • Keempat, menaruh perhatian yang besar dalam mendidik anak ketika dia sudah memasuki usia mumayyiz dan sudah mempunyai daya tangkap (paham). Mengajarkan kepada anak-anak dan para pemuda semua perkara keagamaan dari yang paling besar sampai pada perkara yang paling kecil.
  • Kelima, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan setiap anak ketika kedua orang tuanya atau salah satunya sudah berusia lanjut agar dia berbuat baik kepada keduanya atau kepada yang masih hidup di antara keduanya, dan agar sang anak mengingat pendidikan kedua orang tuanya kepadanya ketika dia masih kecil. Inilah yang merupakan kebaikan besar yang akan terus-menerus dikenang oleh sang anak ketika dia merasakan kebaikan dari kedua orang tuanya. Sehingga dia bisa berkata sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Al-Qur’an Menceritakan Pemuda


Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda, dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pemuda. diantaranya surah al-Kahfi ayat 13 Allah Swt sangat mengistimewakan pemuda dengan bab khusus, yang artinya yaitu:

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”

Buya HAMKA (1984, hal. 171) dalam Tafsir Al-Azhar maksud ayat Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan. Mereka disini dijelaskan penghuni gua dalam kisah ashabul kahfi adalah anak-anak muda, tidak ada bercampur dengan orang tua.

Firman Allah Swt di atas juga mengisyaratkan bahwa pemuda al kahfi adalah termasuk para pemuda pemberani untuk mempertahankan keimanan mereka, pemikiran mereka dan kepribadian mereka. Mereka adalah orang-orang yang teguh imannya, sehingga mereka berani melanggar aturan pemerintah yang melarang mereka meyakini agama tauhid. Jadi keberanian menjadi modal penting bagi seorang pemuda.


Ayat-Ayat Al-Qur’an yang menceritakan pemuda:

Q.S Al Kahfi : 18 : Kisah ashaabul kahfi
Yaitu Kelompok pemuda yang beriman kepada Allah SWT dan meninggalkan mayoritas kaumnya yang menyimpang dari agama Allah SWT, Allah SWT menyelamatkan para pemuda tersebut dan menidurkan mereka selama 309 tahun hingga berakhirnya rezim kafir menjadi rezim beriman.

Q.S : Al Buruj  : Kisah pemuda ashaabul ukhdud
Menceritakan kisah pemuda yang tegar dalam keimanannya kepada Allah SWT sehingga menyebabkan banyak masyarakatnya yang beriman dan membuat murka penguasa sehingga ratusan orang dibinasakan dengan diceburkan ke dalam parit berisi api yang bergejolak.

Mayoritas dari assabiquunal awwaluun (orang-orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW) adalah para pemuda (Abubakar ra masuk Islam pada usia 32 tahun, Umar ra 35 th, Ali ra 9 th, Utsman ra 30 th, dst). 

Sifat-sifat para pemuda yang mendapatkan derajat tinggi sehingga kisahnya diabadikan dalam al-Qur’an dan dibaca oleh jutaan manusia dari masa ke masa, adalah sebagai berikut:

  • Mereka selalu menyeru pada al-haq (QS 7/181)
  • Mereka mencintai Allah SWT, maka Allah SWT mencintai mereka (QS 5/54)
  • Mereka saling melindungi, menegakkan shalat (QS 9/71) tidak sebagaimana para pemuda yang menjadi musuh Allah SWT (QS 9/67)
  • Mereka adalah para pemuda yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT (QS 13/20)
  • Mereka tidak ragu berkorban diri dan harta mereka untuk kepentingan Islam (QS 49/15)

Maka kalau hal ini diperbandingkan kepada perjuangan Nabi SAW, di Makkah itu kelihatan suatu pengalaman yang patut jadi pedoman. Yaitu yang telah dibawa Rasulullah Saw pun anak-anak muda, sedang orang tua telah tegak menjadi penghalang dan perintang, karena mereka telah tenggelam dengan kebatilan selama ini. kalau kita perhatikan seksama tafsir buya hamka di atas, kita akan menyaksikan bahwa anak muda menjadi prioritas utama Rasulullah Saw dalam berdakwah dan menyebarkan Islam.

Islam memandang posisi pemuda di masyarakat bukan menjadi kelompok pengekor yang sekedar berfoya-foya, membuang-buang waktu dengan aktifitas-aktivitas yang bersifat hura-hura dan tidak ada manfaatnya. Melainkan Islam menaruh harapan yang besar kepada para pemuda untuk menjadi pelopor dan motor penggerak dakwah Islam. Pemuda adalah kelompok masyarakat yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, diantaranya adalah bahwa mereka relatif masih bersih dari pencemaran (baik aqidah maupun pemikiran), mereka memiliki semangat yang kuat dan kemampuan mobilitas yang tinggi.

 Pemuda Islam Zaman Salafushshalih


  • Usamah bin Zaid 18 tahun. Memimpin pasukan yang anggotanya adalah para pembesar sahabat seperti Abu Bakar dan Umar untuk menghadapi pasukan terbesar dan terkuat di masa itu.
  • Sa’ad bin Abi Waqqash 17 tahun. Yang pertama kali melontarkan anak panah di jalan Allah. Termasuk dari enam orang ahlussyura.
  • Al Arqam bin Abil Arqam 16 tahun. Menjadikan rumahnya sebagai markas dakwah Rasul SAW selama 13 tahun berturut-turut.
  • Zubair bin Awwam 15 tahun. Yang pertama kali menghunuskan pedang di jalan Allah. Diakui oleh Rasul SAW sebagai hawari-nya.
  • Zaid bin Tsabit 13 tahun. Penulis wahyu. Dalam 17 malam mampu menguasai bahasa Suryani sehingga menjadi penterjemah Rasul SAW. Hafal kitabullah dan ikut serta dalam kodifikasi Al Qur’an.
  • Atab bin Usaid. Diangkat oleh Rasul SAW sebagai gubernur Makkah pada umur 18 tahun.
  • Mu’adz bin Amr bin Jamuh 13 tahun dan Muawwidz bin Afra 14 tahun. Membunuh Abu Jahal, jenderal kaum musyrikin, pada perang Badar.
  • Thalhah bin Ubaidillah 16 tahun. Salah satu orang Arab yang paling mulia. Berbaiat untuk mati demi Rasul SAW pada perang Uhud dan menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Nabi.
  • Muhammad Al Fatih 22 tahun. Menaklukkan Konstantinopel ibu kota Byzantium pada saat para jenderal agung merasa putus asa.
  • Abdurrahman An-Nashir 21 tahun. Pada masanya Andalusia mencapai puncak keemasannya. Dia mampu menganulir berbagai pertikaian dan membuat kebangkitan sains yang tiada duanya.
  • Muhammad Al Qasim 17 tahun. Menaklukkan India sebagai seorang jenderal agung pada masanya.

Subhanallah, nukilan kisah di atas bukanlah dongeng atau cerita fiktif. Mereka adalah manusia biasa yang nyata seperti kita, yang telah mengukir prestasi gemilang di masa mudanya. Merekalah adalah pemuda Islam yang mampu mengharumkan agama Allah dalam keremajaannya.
Sungguh karya yang luar biasa! Lalu, jika mereka pada usia seperti itu saja telah berhasil mempersembahkan karya yang luar biasa, bahkan ada yang mempersembahkan nyawanya untuk membela Islam sehingga memperoleh syahid di jalan- Nya,, maka apa yang telah kita persembahkan?

Memang menjadi salah satu tugas kita juga untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemuda muslim yang diharapkan agama, bangsa dan negara adalah pemuda yang benar-benar taat pada Allah, yang Islamnya kaaffah (menyeluruh), tidak setengah-setengah. Karena bisa jadi, pandangan masyarakat (yang diawal telah disebutkan) terhadap para pemuda disebabkan tak munculnya sosok yang menjadi bukti bahwa pemuda muslim yang kaaffah-lah yang sebenarnya umat butuhkan.

Setiap tahun, masyarakat kita memperingati hari Sumpah Pemuda di negara ini. Sayang, peringatan itu hanya sebatas kegiatan seremonial semata, tetapi miskin subtansi. Dengan adanya karakteristik sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam al-Quran dan al-Hadits diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia dahulu, masa kini dan masa depan. Sadarilah, bahwa Islam menunggu peran para pemuda. Islam menunggu kita, kawan!

Potret Pemuda Islam Terkini


Di zaman sekarang, pola hidup pemuda muslim sudah sangat memperihatinkan. Berapa banyak pemuda muslim yang mengunjungi masjid guna menunaikan sholat fardhu dan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya? Berapa banyak pemuda muslim yang mengkaji dan menghafalkan kitabullah? Berapa banyak pemuda muslim yang mengkaji ilmu agama? Mereka lebih senang menghabiskan waktu luang mereka dengan bermain game dan pacaran.

Kalau kita tanya tentang agama banyak remaja yang mengaku Islam, tapi tidak tahu mengenai, Sirah Nabinya, Sahabatnya, padahal  saat sekolah sudah di ajarkan dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Bahkan banyak remaja sekarang tiap pergatian tahun baru selalu mereka merayakan, bersukaria, meniup trompet, malah ada yang berkumpul-kumpul lomba balapan liar yang mengganggu ketentraman masyarakat. Tahun baru yang nyata-nyata merayakan itu bukanlah tahun Islam baik dari historis maupun dari pandangan umum, tapi coba lihat waktu tanggal 1 Muharram tahun Hijriyah apakah ada yang peduli terhadap tahun yang memiliki sejarah bagi orang yang beriman yang sangat berarti sekaligus sebuah sejarah perjuangan Nabi yang bukan hanya untuk diperingati namun juga sebagai sebuah ibrah yang harus kita amalkan pada setiap individu masing-masing maupun seluruhnya.

Coba tanya pada pemuda-pemuda yang mengaku Islam yang mondar mandir di jalanan, coba suruh menyebutkan 12 bulan dalam tahun Masehi, lalu coba suruh menyebutkan 12 bulan pula pada tahun Hijriyah! Allahu Akbar, bagaimana tidak? Tahun Masehi (Nasrani) mereka hafal, namun tahun Hijriyah tahun agamanya sendiri tidak tahu. Jika bulan Hijriyah saja tidak hafal, lalu bagaimana sejarahnya?

Bagaimana pendapat anda mengenai ini? Lalu apakah pemuda kita masih ada yang tidak tahu bulannya sendiri? Budaya di luar Islam banyak merebak hingga mereka buta terhadap agamanya sendiri.

Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya, di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya.” -Hasan Al-Banna-

Ada yang ingat saat kemarin tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari apa? pastilah pembaca semua sudah mengetahui 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wah Kebangkitan Nasional yaa tapi kamu masih belum bisa bangkit tuh dari tempat tidur alias mager.

Teringat disaat awal-awal masa perkuliahan sepertinya kita sudah sering dijelaskan tentang peran mahasiswa. Dalam materi tersebut, biasanya kita diingatkan bahwa idealnya seorang pemuda berperan sebagai agen perubahan (Agent of Change), menjaga kestabilan sosial (Social Control), dan pengganti generasi sebelumnya (Iron Stock) dalam masyarakat. Pemuda juga diharapkan mengembangkan potensinya. Bisa dibayangkan betapa majunya suatu negara jika semua pemudanya menjalankan semua peran dan mengembangkan potensinya. Sayangnya, yang kita lihat sekarang kondisi pemuda di Indonesia jauh dari harapan ideal tersebut.

“Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah bagian darinya “ (HR Hakim dan Thobroni)

Mari sejenak kita merenungi realita Pemuda Islam masa kini. Walaupun banyak prestasi positif yang diraih para pemuda, prestasi negatif pun tak kalah banyaknya. Pemuda sekarang lebih senang hidup dengan cara Hedonisme & Hura-hura, seperti : Gaya Hidup Pesta dan Dugem, Kecanduan Narkoba, Genk Motor dan Club-club lainnya. Belum lagi kasus HIV-AIDS yang terus meningkat, aborsi, pornografi, pornoaksi, prostitusi, dan tawuran. Mereka disibukkan dengan hal-hal ini dan abai terhadap kondisi masyarakat, negara, dan Islam. Padahal seharusnya pemuda adalah generasi yang memikirkan umat. Lalu Apakah yang Tersisa untuk Kebangkitan Islam ?

Sebagian besar Pemuda Islam berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan, mereka bagaikan buih, tidak memiliki bobot dan tidak memiliki nilai. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

  • Individualis

Mayoritas ummat Islam saat ini bekerja sendiri-sendiri dan sibuk dengan masalahnya masing-masing tanpa berusaha untuk menggalang persatuan dan membuat suatu bargaining position demi kepentingan ummat. Para ulama dan muballigh sibuk bertabligh, para pengusaha muslim sibuk dengan usahanya dan para pejabatnya sibuk mempertahankan jabatannya, tidak ada koordinasi bekerja sesuai dengan bidangnya kemudian dimusyawarahkan untuk kepentingan bersama. Hal inilah yang menyebabkan jurang pemisah antara masing-masing kelompok semakin besar.

  • Emosional

Ikatan keislaman mayoritas ummat saat ini baru pada ikatan emosional saja, belum disertai dengan kefahaman yang mendalam akan ajaran agamanya. Sehingga disiplin untuk bekerja, semangat untuk berdakwah, gairah berinfak, dsb baru pada taraf emosional, bersifat reaktif dan sesaat saja (QS 22/11).


  • Sembrono 
Dalam aspek aktifitas, maka mayoritas ummat melakukan kegiatan dakwah secara sembrono, tanpa perencanaan dan perhitungan yang matang sebagaimana yang mereka lakukan jika mereka mengelola suatu usaha. Akibat aktifitas yang asal jadi ini, maka dampak dari dakwah tersebut kurang atau tidak terasa bagi ummat. Kegiatan tabligh, ceramah, perayaan hari-hari besar agama yang dilakukan hanya sekedar menyampaikan, tanpa ada follow up dan reevaluasi terhadap hasilnya. Khutbah jum’at hanya sekedar melaksanakan rutinitas tanpa dilakukan pembuatan silabi yang berbobot sehingga jama’ah sebagian besar datang untuk tidur daripada mendengarkan isi khutbah.

  • Parsial

Dalam melaksanakan Islam, mayoritas ummat tidak berusaha untuk mengamalkan keseluruhan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan lebih memilih kepada bagian-bagian yang sesuai dengan keinginannya dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya (QS 2/85). Sehingga seorang sudah dipandang sebagai muslim sejati, hanya dengan indikator melakukan shalat atau puasa saja. Padahal shalat hanya bagian yang sangat kecil saja yang menjadi kewajiban seorang muslim, disamping aturan-aturan lain yang juga wajib dilaksanakan oleh seorang muslim dalam berekonomi, politik, pergaulan, pola pikir, cita-cita, bekerja, dsb. Yang kesemuanya tanpa kecuali akan diminta pertanggungjawaban kita di akhirat kelak (QS 2/208).

  • Tambal-sulam.

Dalam menyelesaikan berbagai persoalan ummat, pendekatan yang dilakukan bersifat tambal sulam dan sama sekali tidak menyentuh esensi permasalahan yang sebenarnya. Sebagai contoh, mewabahnya AIDS cara mengatasinya sama sekali bertentangan dengan Islam, yaitu dengan membagi-bagi kondom. Seolah-olah lupa atau sengaja melupakan bahwa pangkal sebab dari AIDS adalah melakukan hubungan seks tidak dengan pasangan yang sah. Dan cara menanggulanginya adalah dengan memperbaiki muatan pendidikan agama yang diajarkan dari sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Demikian pula masalah2 lainnya seperti tawuran pelajar, meningkatnya angka kriminalitas, penyalahgunaan Narkoba, menjamurnya KKN.

  • Masjid hanya diramaikan oleh orang-orang tua dan mereka yang miskin saja
  • Ramadhan hanya menjadi bulan malas-malasan
  • Ramadhan menjadi ajang makan-makan dan begadang
  • Islam sebatas simbol dan digunakan sebagai komoditas belaka


“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”. (Al-Kahfi:13)

Lantas apa sekarang peran pemuda yang harus dilakukan untuk kebangkitan islam? Tugas Pemuda Islam ialah Menjadi Jembatan Penghubung antara Realita dan Idealita. Dengan cara yang bagaimana ya:

Menyadari Peran Pemuda dalam Sejarah Islam & Bangsa
  • Umar bin Abdul Aziz ( Khulafaur Rasyidin ke –Lima, mereformasi pemerintahan dengan cepat (2 tahun) dan begitu melegenda)
  • Muhammad Al Fatih yang dalam usia muda telah mampu memimpin pasukan perang dan berhasil menaklukan kota Konstantinopel.
  • Salahudin Al Ayyubi (menjadi Sultan pada usia 23 tahun) yang dengan keberanian dan keimanannya mampu mengalahkan tentara salib serta merebut tanah Baitul Maqdis.
Bahkan peran pemuda juga mewarnai bangsa Indonesia, seperti yang kita ketahui:
  • Soekarno menjadi Presiden pada Umur 40 tahun
  • Panglima Besar Sudirman mendapat puncak pangkat kemiliteran tertinggi pada usia 29 tahun
  • Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri pada usia 41 tahun

Para pemuda hendaknya menyadari bahwa mereka haruslah menjadi kelompok yang mampu mempresentasikan nilai-nilai Islam secara utuh bagi masyarakat, yaitu:

Mereka menjadi generasi yang hidup qalbunya karena senantiasa dekat dengan al-Qur’an, dan tenang dengan dzikrullah (QS 13/28) [1], "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)  bukan generasi yang berhati batu (QS 57/16) [2] “… dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadiid [57]: 16) akibat jauh dari nilai-nilai Islam, ataupun generasi mayat (QS 6/122) [3] yang tidak bermanfaat tetapi menebar bau busuk kemana-mana.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am [6]: 122)

Dalam menghadapi kesulitan dan tantangan, maka para pemuda harus sabar dan terus berjuang menegakkan Islam, hendaklah mereka berprinsip bahwa jika cintanya kepada Allah SWT benar, semua masalah akan terasa gampang. Dalam perjuangan, jika yang menjadi ukurannya adalah keridhoan manusia maka akan terasa berat, tetapi jika ukurannya keridhoan Allah SWT maka apalah artinya dunia ini (QS 16/96) [4]. “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl [16]: 96)

Membangun Kriteria Pemuda Islam Sebagai Pilar Kebangkitan Umat


Wahai para pemuda Muslim di segala penjuru, kalian harus menjadi contoh yang memberikan pengaruh dalam kehidupan umat dan negeri kalian, kalian harus memiliki peran positif dalam melakukan perubahan terhadap kondisi yang memilukan ini. Menuju realita yang lebih diridhai karena Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman. Jadi sekarang tugas kita sebagai pemuda yakni bangkitlah, bangkit dalam segala bidang. Mulailah mencoba untuk bergerak, jangan hanya diam ditempat. Jadilah seorang pemain jangan hanya menjadi seorang yang selalu menjadi penonton tanpa pernah merasakan perjuangan yang ada.

“Ketahuilah bahwa kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang terluang, maka bantulah saudaramu untuk menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, dan jika engkau punya tugas, selesaikanlah segera!”. –Hasan Al-Banna-

Wahai pemuda, sebenarnya rona kebangkitan Islam ada padamu. Maka;
1. Pelajari agama Islammu
2. Tegakkan tauhid, berantaslah syirik dan tinggalkan maksiat apaun bentuknya.
3. Tautkan hatimu dengan masjid.
4. Bersiaplah untuk berdakwah di jalan Allah.
5. Selektiflah dalam mengambil teman dekat, namun tidak kurang pergaulan.
6. Pekalah terhadap zamanmu, inderalah zaman di mana engkau berada saat ini.
7. Milikilah fisik dan jiwa yang sehat.
8. Aturlah waktumu sebaik mungkin.

Mari kita renungi apa yang disampaikan Imam Hasan al-Banna: “wahai pemuda perbaruhilah iman, kemudian tentukan sasaran dan tujuan langkah kalian. Sesungguhnya kekuatan pertama adalah iman, buah dari iman adalah kesatuan, dan konsekuensi logis dari kesatuan adalah kemenangan yang gemilang. Oleh karenanya berimanlah kalian, eratkanlah ukhuwah, sadarilah, dan kemudian tunggulah datangnya kemenangan.

Jagalah Allah


عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْماً، فَقَالَ: يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: اْحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ [رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح وفي رواية غير الترمذي: احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً].

Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata: Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi). (dari Syarh Hadits Ke-19 Arbain an Nawawiyyah)

Makna ‘menjaga Allah’ dalam hadits di atas adalah menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah, dan larangan-laranganNya.Karena Allah sendiri tidak butuh dengan penjagaan siapapun, bahkan Dialah yang Menjaga seluruh makhluk di alam semesta. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjaga kita di dunia dan di akhirat

Beberapa Contoh Penjagaan Allah dalam Kehidupan Dunia

Barangsiapa yang menjaga Allah, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan di masa muda, Allah akan menjaga badannya di masa tua. Abu  Thayyib at Thabary yang berusia melewati 100 tahun masih memiliki kekuatan yang luar biasa. Pernah suatu ketika ia melompat dari perahu ke tepi daratan, sehingga orang-orang di sekelilingnya mengkhawatirkan keadaanya yang sudah tua. Tapi beliau mengatakan :Tubuhku ini aku jaga dari kemaksiatan sejak muda, sehingga Allah menjaganya ketika aku sudah tua. (Dalam Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/186)).

Para ulama dikenal kuat menjaga hafalan, pemahaman, dan kefaqihannya di usia yang sudah sangat tua, terhindar dari kepikunan, di saat orang-orang lain seusianya sudah banyak yang lupa bahkan tidak mengenal lagi anak-anak dan orang terdekatnya.

Suwaid bin Ghaflah –salah seorang tabi’i yang pernah mengambil ilmu dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali- masih kuat hafalannya dan menjadi imam pada sholat tarawih di bulan Romadhan pada saat usianya sudah 120 tahun (Riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’ (4/175).

Harta kedua anak yatim dijaga Allah melalui perbuatan Nabi Khidhr yang menegakkan dinding rumahnya yang miring, sedangkan di bawah dinding tersebut terdapat simpanan harta mereka (Qur’an surat al-Kahfi ayat 82). Nabi Khidhir menyatakan bahwa ayah kedua anak yatim itu adalah orang yang sholeh. Para ulama menjelaskan bahwa inilah bukti bahwa keshalehan dan ketakwaan dari seseorang menjadi sebab Allah akan menjaga dirinya dan keturunannya.

Tentang kasus pagar halaman sebuah rumah itu adalah milik dua anak laki-laki yatim di negeri itu.Di bawah pagar rumah itu ada harta simpanan berharga milik kedua nak itu. Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih. Tuhanmu ingin agar kedua anak itu mencapai umur dewasa, dan keduanya dapat mengeluarkan harta simpanan berharga itu sebagai rahmat dari Tuhanmu.Aku melakukan semua itu bukan karena kemauanku sendiri (QS. Al Kahfi (18) : 82).

Misi Kejayaan Islam


Tidak diragukan lagi bahwa para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum muslimin secara khusus. Jika mereka adalah para pemuda yang baik dan terdidik dengan adab-adab Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda ummat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah memberikan kepada mereka kekuatan badan dan kecemerlangan pemikiran untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang yang sudah tua umurnya walaupun para orang tua ini melampaui mereka dari sisi kedewasaan dan pengalaman, hanya saja faktor kelemahan jasad -kebanyakannya- membuat mereka tidak mampu untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan oleh para pemuda.

Oleh karena itulah para sahabat yang masih muda memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam menyebarkan agama ini baik dari sisi pengajaran maupun dari sisi berjihad di jalan Allah SWT.

Di antara mereka ada Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr ibnul Ash, Muadz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit yang mereka ini telah mengambil dari Nabi SAW berbagai macam ilmu yang bermanfaat, menghafalkannya, dan menyampaikan-nya kepada ummat sebagai warisan dari Nabi mereka. Di sisi lain ada Khalid bin Walid, Al-Mutsanna bin Haritsah, Asy-Syaibany dan selain mereka yang gigih dalam menyebarkan Islam lewat medan pertempuran jihad di jalan Allah SWT. Seluruhnya mereka adalah satu ummat yang tegak melaksanakan beban kewajiban mereka kepada agama, ummat, dan masyarakat mereka, yang mana pengaruh atau hasil usaha mereka masih kekal sampai hari ini dan akan terus-menerus ada -dengan izin Allah- sepanjang Islam ini masih ada.

Para pemuda di zaman ini adalah para pewaris mereka (para pemuda dari kalangan shahabat) jika mereka mampu untuk memperbaiki diri-diri mereka, mengetahui hak dan kewajiban mereka, serta melaksanakan semua amanah yang diberikan kepada mereka yang berkaitan dengan ummat ini.


Dan bagi mereka kabar gembira dari Nabi SAW tatkala beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,” lalu beliau menyebutkan di antaranya, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam penyembahan kepada Rabbnya.”


*Oleh: Rozal Nawafil
© Infokom PD OPI Aceh

Postingan Populer