Banda Aceh-Pimpinan Daerah Organisasi Pelajar
Islam (PD OPI) Provinsi Aceh mengusulkan agar Tgk.H. Muhammad Waly Al Khalidy
(Abuya Muda Waly) dan Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee dijadikan pahlawan
nasional. "Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee merupakan tokoh agama,
pendidikan, politik dan pejuang yang
sangat berpengaruh dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, bahkan diterimanya Ir. Soekarno sebagai pemimpin Indonesia oleh para
ulama juga tidak terlepas dari pengaruh Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng
Kalee" ujar Wakil Ketua II PD OPI Aceh, Rozal Nawafil (17/7/2020).
"Sejarah
mencatat peran dan pengaruh penting Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee
terhadap eksistensi kemerdekaan Indonesia. Bahkan kiprah kedua Almarhum telah
terbukti dan tidak diragukan lagi dalam upaya pergerakan perjuangan dan pengisi
kemerdekaan. Sehingga sudah sewajarnya kita bersama sama mendukung pengusulan Abu
Tgk. Muda Waly dan Abu Tgk. Hasan Krueng Kalee sebagai pahlawan nasional dan sudah sepantasnya hal ini direspon oleh
pemerintah pusat," ungkap Rozal Nawafil yang juga merupakan
mahasiswa/praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Abu
Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee berperan dalam upaya merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai referensi disebutkan bahwa
di masa penjajahan, Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee bersama
ulama-ulama Aceh lainnya terus menggelorakan semangat melawan penjajahan dengan
semangat jihad fissabilillah.
Dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi kemerdekaan
Indonesia, Abu Muda Waly dan Abu Hasan
Krueng Kalee serta para ulama-ulama Aceh lainnya juga melakukan jihad untuk
membela agama dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal itu terbukti pada tanggal
15 Oktober 1945, Abu Hasan Krueng Kalee beserta tiga ulama Aceh lainnya
menandatangani deklarasi perjuangan Maklumat Oelama Seloeroeh Atjeh, Pernyataan
Jihad yang mewajibkan seluruh rakyat Aceh untuk berjihad membela kemerdekaan
Indonesia dan mengusir NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang
hendak menjajah kembali. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh
terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan. Inti
muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang
disebut perang sabil meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan
Tgk Chik Di Tiro dan pahlawan lainnya.
Tak
lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Pada tanggal 25 Oktober Abu Tgk.
Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting.
Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI
(Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh
ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim
kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu
tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian
menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Di Tiro.
Adanya
maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik
dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik
Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke
Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa Aceh dan segenap
rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Rozal
Nawafil menjelaskan Organisasi Pelajar Islam (OPI) selaku organisasi serumpun
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tidak dapat terpisahkan dari perjuangan
Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee. PERTI didirikan di Sumatera Barat
pada 5 Mei 1928, berkembang di Aceh sejak tahun 1940-an. Abuya Muda Waly
merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan PERTI di Aceh. “Abu Tgk. H. M.
Hasan Krueng Kalee, Abuya Tgk. H. M. Muda Waly Al Khalidy, Tgk. H. Nyak Diwan,
Tgk. H. M. Saleh Aron, dan beberapa ulama memprakarsai lahirnya Organisasi
PERTI untuk wilayah Aceh.”
“Kiprah
PERTI dalam membina tarbiyah umat islam Aceh sangat besar sebagai wadah
organisasi yang berjuang untuk mempertahankan orisinalitas pemahaman agama
islam di Aceh yang i’tikadnya mengacu
pada faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyyah) dan berfiqih
dengan Mazhab Syafi’i. Hampir seluruh dayah di Aceh bernaung di bawah
organisasi ini dan bersanad kepada Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee”.
Dalam
pemilu 1955, PERTI yang menjadi Partai Islam PERTI berhasil memperoleh 465.359
suara atau 1,23% dari total suara pemilih sehingga berhasil memperoleh 7 buah
kursi di Konstituante. Dari 7 kursi tadi, satu jatah kursi diberikan kepada
PERTI Aceh yang diwakili oleh Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee.
Pada
14 oktober 1957, Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy dan Abu Muhammad Hasan
Krueng Kalee, serta beberapa ulama lain dari seluruh Indonesia sekitar 500
orang diundang oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno ke Istana Cipanas
untuk membicarakan status Negara RI dan presidennya dalam tinjauan agama Islam,
apakah sah atau tidak. Dalam pertemuan itu, itu tidak semua para ulama setuju
mengangkat Soekarno menjadi pemimpin negara dikarenakan dianggap tidak memenuhi
persyaratan menjadi pemimpin menurut fiqh. Namun, Abuya Muda Waly menjelaskan
bahwa kepemimpinan Soekarno adalah sah, dengan merujuk kitab "Tuhfatul
Muhtaj". Setelah itu maka para peserta pertemuan membaca kitab tersebut
dan juga membaca beberapa kitab yang disarankan oleh Abuya selain kitab Tuhfah.
Akhirnya pertemuan itu menghasilkan pengakuan bahwa apa yang diungkapkan oleh
Abuya adalah benar. Saat itulah Soekarno dinobatkan sebagai Presiden Pertama RI
Dan Abuya Muda Waly menyampaikan Presiden Soekarno adalah Ulil Amri
adh-Dharuuriy bisy syaukah. Hasil putusan itulah yang dilaporkan oleh Menteri
Agama RI KH. Masykur kepada Presiden, dan Presiden Soekarno berterimakasih
kepada Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee.
Abu
Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee bersama ulama-ulama kaum tua lainnya yang
tergabung dalam PERTI juga tidak
mendukung dan bergabung dengan ulama-ulama kaum muda yang tergabung dalam PUSA
dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh.
Mantan
Gubernur Aceh, Alm. Prof. Ali Hasjmy menyebut Abuya Muda Waly sebagai sosok
yang Nasionalis seperti dikutip dari buku Ayah Kami Abuya Syeikh Muhammad Waly
Al-Khalidy: Bapak Pendidikan Aceh. Di Dayah Darussalam yang dipimpinnya, Abuya
Muda Waly memformulasikan ulang sistem pendidikan pesantren di Aceh pada masa
itu. Di dayah inilah pertama sekali diperkenalkan dua sistem yaitu sistem dayah
tradisional dimana siswa yang mengikuti jalur ini diharuskan untuk belajar
suatu kitab tertentu hingga tamat. Sistem kedua yang diterapkan di dayah ini
adalah sistem madrasah, dimana para siswanya belajar dengan mengikuti pola
tertentu dan menggunakan gedung yang telah ditentukan. Sistem ini juga tidak
mengharuskan siswa untuk menamatkan suatu kitab tetapi harus aktif dalam
diskusi-diskusi yang diselenggarakan di dalam kelas. Sehingga tidak heran jika
Gubernur Aceh (2/9/2008) menggelari Abuya Muda Waly sebagai Tokoh Pendidikan
Aceh.
Abu
Hasan Krueng Kalee juga dikenal sebagai pembaharu sistem pendidikan di Aceh.
Abu Tgk.H. M. Hasan Krueng Kalee bersama Tgk H.Hasballah Indrapuri, Tgk H.Abdul
Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy,Tgk.
H.Trienggadeng dll mengadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar
(1-2/10/1932) yang membahas masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam.
Dayah Darul Ihsan yang dipimpin Abu Hasan Krueng Kalee saat itu pun mengadopsi
sistem pendidikan Islam tradisional moderat.
Abu
Muda Waly dan Abu Krueng Kalee menjadi kharismatik bukan karena diagungkan oleh
masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh dan
Indonesia yang begitu besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al
A’rif billah”. Gelar itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama
se-Aceh, 5 Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Pada pertemuan itu
para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Muda Waly dan Abu Krueng Kalee, ada
dua ulama lainnya yaitu Syaikh Abdurrauf Singkil (Syiah Kuala) dan Hamzah Fansuri
telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah.
“Jika
melihat syarat-syarat pahlawan nasional, saya rasa tidak ada alasan untuk tidak
dapat menjadikan Abu Tgk.H. Muhammad Muda Waly dan Abu Tgk. H. Muhammad Hasan
Krueng Kalee menjadi pahlawan nasional Indonesia.” ujar Wakil Ketua II PD OPI
Provinsi Aceh tersebut. []
© Infokom PD OPI Aceh
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء