Dalam biografi singkat “Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat” yang diterbitkan Yayasan Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan, pada hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran dengan baik dan benar, mutlak harus mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya mengambil suatu hukum dan i’tibar serta memahami dengan benar ilmu fiqh sirah.
Hal itulah yang dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya semasa hidupnya.
Perannya sebagai seorang ulama salafi dan sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh dari berbagai persoalan-persoalan umat. Kiprahnya selalu hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.
Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat Aceh adalah lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945. Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan wilayah Sumatera.
Maklumat itu dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh empat tokoh ulama yang mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan Krueng Kalee, Tgk M Daud Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk Ahmad Hasballah Indrapuri. Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno.
Inti muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah) meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan penuh dengan dicantumkannya atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residen Aceh dan disetujui oleh Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh) selaku Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNIDA).
Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting atas nama pribadinya pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan maklumat bersama.
Seruan yang ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia). Disertai surat pengantar yang ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor 116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama Aceh.
Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Pengorbanan Abu Hasan, baik secara materi dan nonmateri demi kemerdekaan Republik Indonesia tidak bisa dianggap enteng. Hal ini dilakukan karena motivasi beliau untuk terus melaksanakan tugas sebagaimana perintah Islam untuk membela tanah air.
Oleh karenanya, pernyataan Abu Kreung Kalee untuk menolak bergabung dengan RI , dalam rapat besar membahas sikap Aceh terhadap tawaran bergabung dengan-Republik Federasi Sumatera harus dilihat dengan kacamata kontekstual.
Abu Hasan menyarankan agar Tgk. Daud Beureueh mengambil tawaran oleh Tgk Dr. Mansur, karena merasa bahwa Indonesia sudah lumpuh dan tidak
memiliki harapan lagi.
Karena secara de facto, Belanda sudah menguasai semua daerah Indonesia kecuali Aceh. Ditambah lagi sepertinya Abu Krueng Kalee tidak mempercayai janji-janji yang diberikan oleh Soekarno.
Bagi Abu Krueng Kalee, karena kondisi
kepemimpinan RI yang sudah vakum itu, maka secara hukum agama, mendirikan negara sendiri adalah langkah yang tepat. Ia mengatakan kepada Tgk. Daud Bereueh yang mendapatkan surat kaleng 1949 dari Belanda untuk memisahkan diri dari Indonesia
" Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI, ambil yang baik meskipun itu keluar dari mulut rimueng (harimau)”.
kepemimpinan RI yang sudah vakum itu, maka secara hukum agama, mendirikan negara sendiri adalah langkah yang tepat. Ia mengatakan kepada Tgk. Daud Bereueh yang mendapatkan surat kaleng 1949 dari Belanda untuk memisahkan diri dari Indonesia
" Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI, ambil yang baik meskipun itu keluar dari mulut rimueng (harimau)”.
Namun usulan ini ditolak oleh Daud Beureueh.
" ... Sebab itu, kita tidak bermaksud membentuk suatu Aceh Raya, karena kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.”
" ... Sebab itu, kita tidak bermaksud membentuk suatu Aceh Raya, karena kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak kita balas.”
Sikap Abu Hasan ini tidak bisa dipahami bahwa beliau tidak ingin bergabung dengan Republik Indonesia atau tidak mendukung pemerintahan Soekarno. Karena pada beberapa kesempatan beliau dengan tegas mendukung posisi Presiden Soekarno sebagai presiden Indonesia.
Bahkan, ketika banyak ulama Indonesia menyatakan bahwa kepemimpinan Soekarno tidak sah menurut hukum Islam, Abu Krueng Kalee dan Syekh Muda Wali Al Khalidi menyatakan keabsahan pemerintah Soekarno dengan terminologi “ulil amri dharuribissyaukah”.
Artinya, pemerintahan Soekarno adalah pemerintahan yang sah untuk sementara waktu hingga terbentuknya pemerintahan Islam yang sah dan benar.
Artinya, pemerintahan Soekarno adalah pemerintahan yang sah untuk sementara waktu hingga terbentuknya pemerintahan Islam yang sah dan benar.
Selain itu, dukungan terhadap Republik Indonesia juga terus ditunjukkannya bahkan ketika harus bertentangan dengan Tgk. Daud Beureueh.
Tgk. Daud Beureueh yang kecewa dengan pengingkaran janji Soekarno merasa harus mengangkat senjata dengan menyatakan Aceh bergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM Kartosoewirjo. Namun Abu Hasan menentang ide tersebut. la bahkan mengutuk gerakan DI/ TII melalui pernyataan Ulama-ulama besar Aceh pada tanggal 23 September
1953.
1953.
Karena menurutnya, Pemerintahan Indonesia saat itu adalah adalah kepemimpinan yang sah, sehingga melawan pemerintahan yang sah adalah tindakan bughah menurut hukum Islam, dan dapat menyebabkan kerusakan dalam masyarakat.
la berkomentar-Tulong neupeugah bak Tgk. Daud “peu ek geulayang watee na angen. bek peu ek geulayang watee hana angen" (Tolong sampaikan pada Tgk. Daud, naikkan layangan ketika ada angin jangan naikkan layangan ketika tidak ada angin).
Sehingga Abu bersama ulama-ulama kaum tua lainnya yang tergabung dalam PERTI tidak mendukung dan bergabung dengan ulama-ulama kaum muda yang tergabung dalam PUSA dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh. Hal inilah yang membuat beberapa dayah milik ulama PERTI sempat diteror oleh gerilyawan DI/TII.
Kebijaksanaan Abu Hasan juga terlihat pada cara ia mengambil keputusan pada Perang Cumbok. Sebelum mengambil keputusan yang besar, beliau tetap menemui Teuku Daud Cumbok dan berusaha membujuknya agar menghentikan perang saudara antara kaum uleebalang pimpinan T. Daud Cumbok dengan kaum teungku pimpinan Tgk. Daud Beureueh. Yang mana sejatinya dua orang ini juga adalah murid dari Abu Hasan Krueng Kalee.
Bahkan Abu Hasan menyampaikan dalil QS. 49 ayat 9 agar T. Daud Cumbok bersedia berkomukasi secara damai mengenai kemerdekaan Indonesia, namun Teuku Daud Cumbok menjawab:
”Teungku nyang Guree lon tuan. Lon
ka ditrom le’ si Daud lam leuhob, hanjeut lon teubit lei. Jadi hanjeut lon surut le’. Aleuhnyan, lon pih ureung
Aceh. Nyawong pih saboh, hana dua” (Teungku, guru saya. Saya sudah ditendang
ke dalam lumpur oleh si Daud (maksudnya Tgk. Daud Beureueh), pimpinan Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA), jadi tidak mungkin keluar lagi. Lagi pula saya orang Aceh. Nyawa hanya
satu, tidak ada dua).
Kemudian Tgk. Syekh Abu Krueng Kalee kembali bertanya: “Nyan nyang
Teuku peugah kabeeh neupikee?”. (Yang Teuku katakan itu apa sudah dipikirkan dengan matang?).
Teuku Daud Cumbok menjawab: “Ka” (sudah). Tgk. Syekh Abu Krueng Kalee kembali bertanya: “Meunyoe lon preh, lon bi watee neupikee, peu neupikee lom atau han?” (Jika saya tunggu untuk beri waktu Teuku berpikir, apa Teuku mau?) Jawab Teuku Daud Cumbok: “Hana lon pikee le”
(Tidak perlu saya pikir lagi).
Teuku Daud Cumbok menjawab: “Ka” (sudah). Tgk. Syekh Abu Krueng Kalee kembali bertanya: “Meunyoe lon preh, lon bi watee neupikee, peu neupikee lom atau han?” (Jika saya tunggu untuk beri waktu Teuku berpikir, apa Teuku mau?) Jawab Teuku Daud Cumbok: “Hana lon pikee le”
(Tidak perlu saya pikir lagi).
Tgk. Syekh Abu Krueng Kalee kembali bertanya: “Lon tanyong sigoe
teuk, kabeeh neupikee?” (Saya ulang sekali lagi, apa sudah dipikir dengan matang-matang?). Teuku
Daud Cumbok menjawab: “Ka abeeh” (sudah).
Begitulah sikap siyasah (politik) Abu Hasan Krueng Kalee yang selalu mengambil jalan tengah (wasathah) demi Nanggroe Aceh yang damai (Darussalam).
Semoga beliau ditempatkan di maqam tertinggi disisi Allah Subhanahuwa Ta'ala.
https://youtu.be/9qPVGR1F9ds
https://youtu.be/NSscw1vwHFE
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء