Oleh: @dedengjuheri
.
Orang yang gila hormat, biasanya
tidak terhormat. Orang yang rindu
pujian, biasanya kurang terpuji.
Sementara orang shalih bila
dipuji, ia bersyukur, merenung, bahkan menangis mengingat dosa dan aibnya.
Merasa diri belum pantas dan hina dihadapan Allah Swt.
Apakah mesti seperti itu?
...
Adalah Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit, atau yang kita kenal Imam Hanafi. Suatu hari ia berjumpa bocah kecil
yang berjalan mengenakan sepatu kayu.
”Hati-hati Nak, dengan sepatu
kayumu itu. Jangan sampai tergelincir."
Bocah itu tersenyum dan
mengucapkan terima kasih.
”Boleh saya tahu namamu, Tuan?”
tanya sang bocah.
”Nu’man.”
”Jadi, Tuan yang selama ini
terkenal dengan gelar Al-Imam Al-A‘dham (imam agung) itu?”
”Bukan aku yang menyematkan gelar
itu. Masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu padaku.”
"Wahai Imam," kata sang
bocah, "hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka
gara-gara dia."
"Sepatu kayuku ini,"
lanjut sang bocah, "mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu
itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan
keangkuhan menyertainya.”
Imam Hanafi menunduk, kelopak
matanya terasa panas. Napasnya nemburu, tak kuat menahan haru. Hingga beliau
tersungkur dalam tangis dan beraian air mata.
Betapa Imam Hanafi takut pada
Allah, khawatir bila gelarnya menumbuhkan benih kesombongan. Yang pada akhirnya
menyeretnya ke neraka. Naudzubillahi mindzalik.
Tapi apa yang terjadi hari ini?
Betapa banyak di antara kita yang
suka menggelari dirinya dengan gelar yang hebat. Berbangga-bangga dengan
sesuatu yang disandangnya. Mengaku sebagai trainer penebar virus motivasi,
master memori, ahli hipnotis, motivator terlaris nasinal, dan sebagainya.
Ada yang mengaku sebagai
pembicara sukses kelas benua, Trainer Terhebat Benua Asia, atau level
internasional lainnya.
Ada pula yang mengaku sebagai
Trainer Termuda Sedunia (TTS) yang memengaruhi jutaan manusia, padahal baru
beberapa kali saja diundang jadi pembicara. Juga belum banyak berbuat untuk
masyarakat.
Terkadang kita lebih suka dengan
pujian, menggelari diri dengan titel hebat, keren dan wah. Mengundang decak
kagum, riuh sanjungan, dan meriah tepuk tangan kekaguman.
Sungguh amat jauh sikap kita dari
para ulama, mereka begitu santun, rendah hati, dan tak silau oleh kelebihannya
sendiri. Tapi hari ini kita menemukan banyak orang bangga menyematkan gelar
dibelakang nama, terbaik, termuda, terhebat, motivator kelas nasional, bahkan
tingkat dunia. Astaghfirullahal'adzim.
Di antara takutnya para ulama,
orang-orang shalih, dan para mulia terdahulu terhadap gelar yang tersemat pada
namanya adalah surat ad-Dukhaan ayat 49.
ذُقْ إِنَّكَ
أَنتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
“Rasakanlah; sesungguhnya engkau orang
yang perkasa lagi mulia!” (QS Ad Dukhaan [44]:49)
Ayat ini tertuju untuk Abu Jahal.
Gelar Maha Perkasa sengaja Allah sematkan pada dirinya kelak ketika disiksa di
neraka. Bukan sebagai kehormatan, melainkan sebagai penghinaan. Sebab dulu
ketika hidup di dunia ia menggelari dirinya dengan gelar yang mulia ini, Azizul Karim atau Maha Perkasa.
Lantas bagaimana kalau masyarakat
menggelari kita? Misalnya Si Dermawan, Penulis Brilian, Inspirator Peradaban,
Tokoh Pembaharu, Penemu Listrik Angin dan sebagainya?
Semoga baik
sangka ini membawa kebaikan, menundukan nafsu , dan menjadikan kita
bertambah syukur. Insyaallah beda antara menggelari diri sendiri dan gelar yang
disematkan oleh orang lain, masyarakat, atau lembaga pendidikan. Kuncinya,
kembalikan pujian pada Allah yang Maha Terpuji.
Semoga Allah melindungi kita dari
kesesatan yang disadari dan tidak disadari. Ya Rabbi, ampuni dosa kami.
Wallahu’alam.
Salam orang awam tak berilmu.
***
@dedengjuheri / Jauhar al-Zanki Penulis Buku Kupilih Engkau Karena Allah, Ketika Kebelet Nikah, dll. Pengasuh acara Bincang Pra-Nikah di 100.2 FM Elshifa Radio |
© Infokom PD OPI Aceh
0 komentar:
Posting Komentar
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء