PD OPI Aceh

Tidak Ada Kemenangan Tanpa Kekuatan dan Tidak Ada Kekuatan Tanpa Persatuan

Organisasi Pelajar Islam (OPI)

Intelektual, Integritas, Akhlakul Karimah

www.pdopiaceh.com

Dikelola oleh Bidang Informasi dan Komunikasi PD OPI Aceh

Kabid Infokom

Rabu, 23 Agustus 2017

“Syaikh Masyaikh Asyi (Guru Para Ulama di Aceh)” ABUYA TEUNGKU SYECH TEUKU MAHMUD (1899 -1966)

Makam Abu Syekh Mahmud dan Abu Abdul Hamid Kamal
Dok. PC OPI Aceh Barat Daya

Abuya Syaikh Tgk. Teuku Mahmud bin Tgk. Teuku Ahmad (Abu Syech Mud) lahir di Lampu’uk, Lhoknga, Aceh Besar pada tahun 1899, Beliau merupakan alumni Dayah Krueng Kalee, Aceh Besar dan Dayah Yan, Kedah, Malaysia.

Beliau pertama kali mengenyam pendidikan formal di SR (Sekolah Ra’jat) Lhoknga selama tiga tahun hingga tahun 1907 kemudian oleh kolonial Belanda karena beliau termasuk keturunan ulee balang (hulubalang) di kampung Lampu’uk dan dinilai cerdas, beliau difasilitasi untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan di Lhoknga hingga 1914.


T. Mahmud Tertarik Belajar Agama

Dalam melanjutkan pendidikan agama, pertama ia belajar dasar-dasar agama Islam dan al-Quran di desanya Lampuuk Lhoknga, kemudian melanjutkan ke Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee pada tahun 1915. Dayah Darul Ihsan yang merupakan dayah yang dibangun oleh Abu Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan sangat masyhur saat itu. Santrinya bukan saja dari berbagai pelosok Aceh, tetapi juga berbagai daerah lain bahkan dari luar negeri.

Sesungguhnya, Abu Teungku Syech T. Mahmud sudah cukup alim saat selesai belajar di Dayah Darul Ihsan pada tahun 1920, tetapi karena keinginan belajar masih kuat beliau melanjutkan pendidikannya ke negeri Yan di Semananjung Malaysia pada tahun 1921 sampai 1925. Selama lima tahun beliau berada di negeri Yan, beliau lebih banyak bertindak sebagai guru dibandingkan sebagai santri. Walaupun demikian, banyak pula pengetahuan yang diperolehnya di negeri itu.


Membelot ke Semenanjung

Melanjutkan pendidikan ke negeri Yan tersebut sebenarnya merupakan pembelotan (pelarian) dari penugasan kolonial untuk melanjutkan pendidikan ke Nederland atau ke Batavia (Betawi). Anak-anak ulee balang saat itu yang dinilai memiliki kecerdasan perlu diberikan fasilitas untuk melanjutkan pendidikan. Mungkin tujuan kolonial setelah tugas belajar selesai, dapat dijadikan kaki tangan atau pegawai mereka nantinya di Aceh. Jika kerani atau pemimpin dijadikan orang-orang Aceh sendiri mungkin saja pergolakan yang terjadi setiap saat di Aceh dapat dihentikan atau sekurang-kurangnya dapat reda.

Belanda menerapkan strategi itu menjalankan nasehat Snouck Hugrounje seorang ahli strategi Belanda yang khusus dikirim ke Aceh dalam rangka mendapatkan strategi memadamkan perlawan rakyat Aceh. Mungkin dengan diterapkan strategi ini pergolakan rakyat Aceh yang masih berlangsung sampai awal abad 19 dapat dihentikan. Strategi itulah yang akan digunakan oleh Belanda. Karena itu pada tahun 1915/1916,kolonial di Aceh membuat program pemberian fasiltas beasiswa kepada anak-anak ulee balang yang berbakat untuk melanjutkan pendidikan. Tapi beda dengan Abu Teungku Syech Teuku Mahmud. Beliau tidak menyukai tawaran tersebut, dan beliaupun tidak ingin untuk melanjutkan pendidikan ke tempat lain, apalagi ke Nederland.

Tapi, karena beliau telah terdata dan didaftarkan untuk ikut pendidikan, maka beliau diperintahkan juga bersiap-siap untuk berangkat bersama dengan rombongan anak-anak ulee balang lainnya yang sudah siap berangkat. Pada akhir tahun 1920/1921, Abu Teungku Syech T. Mahmud yang baru pulang dari Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee, terpaksa ikut juga dalam rombongan itu. Rombongan berangkat dengan menumpang kapal Belanda dari Ulee Lheue tujuan Betawi dan Nedherland. Kapal tersebut dalam perjalanannya singgah di Pulau Penang Malaysia. Saat kapal singgah itu, Tgk. Syech T. Mahmud turun dari kapal meninggalkan rombongan dan menyeberang ke daratan Malaysia, selanjutnya menetap di Lembaga Pendidikan Agama Islam (mungkin sejenis perguruan tinggi) yang saat itu tergolong besar di negeri Yan dan semenanjung Malaysia.

Lembaga pendidikan itu juga yang merupakan sejenis dayah salafiyah syafi’iyah dan tergolong sangat besar saat itu. Muridnya disamping dari Malaysia juga banyak pula dari Sumatera, Aceh, Jawa, Sulawesi dan negeri Pattani di Thailand.


Memasak Kuah Batu

Pembelotan beliau ke negeri Yan Malaysia dengan turun dari kapal di Penang, tidak diketahui oleh seorangpun termasuk oleh ayah beliau dan seluruh keluarga di Lampuuk, Lhoknga. Para keluarga di kampung mengira T. Mahmud sudah berangkat dan sekolah ke Betawi atau Nederland. Lama tidak ada berita dan setahun sudah berlalu. T. Mahmud hidup dan belajar di negeri Yan tidak didukung oleh dana beasiswa dan tidak dapat kiriman dari orang tua di kampung.

Dalam keadaan sempit seperti itu, T. Mahmud mendapat informasi bahwa di negeri Yan ada beberapa keluarga Aceh dan telah bermukim lama di situ dan bahwa telah menjadi warga anak negeri. T. Mahmud sering berkunjung ke keluarga tersebut bahkan telah dijadikan anak angkat oleh mereka, sehingga kebutuhan bahan makanan sering dibantu oleh beberapa keluarga itu.

Biasanya kebutuhan bahan makanan dalam bentuk beras sering diberikan mereka dan tidak jarang pula keluarga angkat itu memberikan uang. Karena ia hidup sendiri maka kekurangan bahan pangan (beras) tidak terjadi. Akan tetapi ia juga kadang-kadang juga kekurangan uang. T. Mahmud sangat membatasi untuk menggantungkan hidupnya pada keluarga angkatnya itu. Ia menyelesaikan kebutuhan hidupnya sendiri.

Setahun sudah berlalu, uang yang dibawa sebagai persiapan untuk bekal tugas belajar sudah habis dan untuk makan nasi putih dengan diberi kuah air sudah tidak selera lagi. Saat itu, beliau teringat tentang masakan gampong. Ada kuah ikan Masam Keu’eung (asam pedas), tumeh dhek, dan sebagainya. Apa daya untuk membeli ikan tidak ada uang, Menunggu kiriman dari kampong juga tidak mungkin datang, karena mereka tidak tahu bahwa T. Mahmud ada di negeri Yan. Mau minta ke keluarga angkat terasa malu karena mereka sudah sangat banyak dibantu. Maka keinginan selera itu ditahan saja.

Suatu waktu. Muncul ide untuk memasak kuah masam keu’eung tetapi yang dimakan kuahnya saja. Memang untuk masakan asam keu’eung atau tumeh dhek, memerlukan ada amis (anyie) ikan. Pergilah T, Mahmud ke sungai. Dicarinya beberapa buah batu yang telah ditumbuhi lumut, batu itu digunakan untuk mendapatkan amis (anyie) ikan, kemudian dicuci dan dibawa pulang ke bilik di dayah.

Soal kepandaian memasak memang sudah terlatih saat ia belajar di Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee dulu. Maka digunakanlah batu berlumut itu sebagai pengganti bau amisnya ikan. Selanjutnya batu diberi bumbu dan dimasak untuk menghasilkan kuah. Makanan kuah batu tulah penebus “hawa selerah kuwah masam keu’eng” yang lama diidamkannya.


Ayah Di Kampung Terkejut

Sudah lebih setahun T. Mahmud belajar dan sekaligus menjadi guru di negeri Yan tidak diketahui oleh keluarga di kampung Lampuuk. Mungkin juga kolonialpun tidak mengetahuinya bahwa T, Mahmud sudah membelot. Keluarga di Lampuuk mengira T. Mahmud belajar di Betawi atau Nederland. Tapi anehnya, kenapa sudah lebih setahun T. Mahmud tidak mengirim surat memberi tahu tentang keadaannya. Komunikasi sama sekali tidak terjadi. Walaupun demikian, keluarga di gampong tenang saja, karena dalam pikiran mereka T. Mahmud sudah sibuk dalam beajar di Betawi atau Nederland.

T. Mahmud di negeri Yan enggan mengirimkan surat ke kampung karena ia merasa khawatir jika pembelotannya diketahui oleh kolonial dan takut ia akan disuruh pulang atau bahkan dipaksa pulang dan diambil tindakan-tindakan lainnya. Untuk menghindari keadaan itu ia tidak mengirim surat ke kampungnya.

Sampailah pada suatu ketika, datanglah murid baru dari Aceh dan secara kebetulan berasal dari Lhoknga juga. Murid baru itu bernama Muhammad Yusuf. Ia berasal dari kampung Seubun Lhoknga melanjutkan pendidikan ke negeri Yan. Bertemulah mereka di sana. Sejak itu, misteri T. Mahmud telah diketahui kelarga di Lampuuk. Mulai saat itu masalah dana kehidupan telah teratasi sampai ia kembali pulang ke Aceh.


Keadaan Nanggroe


Pada Akhir abad ke 18 sampai awal abad 19 di Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pergolakan yang sangat panjang. Pada akhir abad 18, Belanda sudah menguasai pantai barat dan selatan aceh. Marchose (serdadu) Belanda sudah berdomisili di beberapa tempat di pantai barat dan selatan Aceh. Di Blangpidie misalnya, telah dibangun tangsie atau saat itu sering disebut dengan bivak yang diisi oleh serdadu (marsose) Belanda. Karena itu, pada tanggal 13 Juni 1899, seorang controller Belanda di Tapak Tuan mengirim surat ke Kutaraja dan Batavia menyebutkan bahwa ada daerah sepanjang pantai barat dan selatan Aceh, daerah itu tergolong makmur menghasilkan banyak rempah-rempah yang bermutu baik, menghasilkan bahan pangan lebih dari cukup. Daerah itu terletak di bagian barat daya Aceh dengan pelabuhan singgah dilakukan di Teluk Surin dan di Susoh. Daerah yang makmur itu telah dikuasai oleh Belanda.


Walaupun dalam laporan controlleur Belanda menyebutkan bahwa daerah di barat daya Aceh telah dikuasai, tetapi pergolakan secara sporadic terus terjadi. Sejak Belanda masuk ke pantai barat selatan Aceh, T. Ben Mahmud, Ulee Balang wilayah Blangpidie waktu itu tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Beliau bukan saja tidak mau bekerja sama tetapi juga melakukan perlawanan. Berbagai peperangan terjadi, sehingga beliau menyingkir dan bergerilya di hutan-hutan sepanjang bukit barisan mulai dari hutan Blangpidie sampai ke Bakongan dan bahkan ada keterangan wilayah gerilya itu sampai ke perbatasan Sumatera Utara.

Pada tahun 1905, T. Ben Mahmud dan pasukannya menyusun strategi penyergapan pasukan Belanda yang sering berkunjung dari Tapak Tuan atau Blangpidie ke beberapa daerah untuk melakukan patroli. Saat pasukan Belanda berada di Meukek, pasukan T. Ben Mahmud yang saat itu dipimpin oleh T. Idris melakukan penyerangan, menyebabkan pasukan Belanda kucar kacir dan beberapa tewas. Belanda marah dan melakukan sweeping secara ketat, sehingga T. Idris dapat ditangkap, kemudian dibuang ke Ternate, Maluku.



Pasukan T. Ben Mahmud tidak patah semangat dengan tertangkapnya T. Idris, malah  terus melakukan penyerangan. Karena gangguan keamanan yang terjadi terus-menerus yang digerakkan oleh T. Ben Mahmud, maka Belanda mengintensifkan pencarian terhadap beliau. Begitulah, beberapa lama kemudian T. Ben Mahmud dapat ditangkap, kemudian dibawa ke Kutaraja dan kemudian diasingkan ke Batavia (Jakarta). Karena dianggap dan dicurigai masih berpengaruh, maka selanjutnya dibuang ke Maluku.


Semula Belanda menganggap dengan ditangkapnya T. Ben Mahmud dan T. Idris perjuangan dari pihak Ulee Balang dapat dipatahkan dan keadaan dapat dikuasai. Hal ini ditandai dengan telah terjalin kerjasama antara ulee balang pengganti beliau dengan Belanda. Tetapi nyatanya, perjuangan yang digerakkan oleh ulee balang sudah redup, muncul pula gerakan yang lebih dahsyat yang digerakkan oleh “kelompok teungku”. Gerakan perjuangan dikumandangkan itu memiliki semboyan “hudeep saree matee syahid” (hidup mulia bersama, atau mati syahid). Gerakan yang dilakukan oleh kelompok teungku ini semula berupa gerakan senyap di bawah tanah. Orang Aceh menyebutnya “gerakan apui lam seukeuem” (api dalam sekam). Gerakan diam-diam yang mengganggu pergerakan Belanda itu sangat mengkhawatirkan keselamatan, dan pergerakan inilah yang sangat ditakuti oleh Belanda.

Gerakan senyap inilah yang dipimpin oleh Teungku Peukan. Teungku Peukan adalah seorang guru mengaji yang sangat dihormati di kampungnya, dan ia terlahir dalam keluarga teungku. Ayahnya bernama Teungku Padang Geunteng dan ibunya bernama Zulaikha. Teungku Peukan lahir di salah satu gampong di Manggeng (mungkin sekarang Lembah Sabil) pada tahun 1886. Ia memang lahir dan dibesarkan pada saat Aceh dalam pergolakan melawan Belanda. Aceh mulai berperang melawan Belanda pada tanggal 18 April 1873. Mulai saat itu Aceh menyatakan perang dan tidak pernah menyerah.

Penyebab Aceh berperang karena Belanda melakukan perjanjian sepihak dengan Inggris yang menghasilkan “Traktat Sumatera” yaitu yang menyatakan Belanda menguasai Sumatera sedangkan Inggris menguasai semenajung Malaya. Sebelumnya Kerajaan Aceh telah mengikat perjanjian dengan Inggris yang disebut dengan “Traktat London” yang menyatakan Aceh secara merdeka dan bebas melakukan perdagangan dengan berbagai negara di dunia terutama dengan Turki, Inggris dan berbagai negara lainnya. Karena Belanda memaksa keinginannya untuk menguasai negeri, maka Aceh melawan dan menyatakan perang yang tercatat dalam sejarah sebuah peperangan yang sangat panjang.

Dalam keadaan Aceh seperti itulah Teukue Peukan lahir. Setelah T. Idris dan T. Ben Mahmud tertangkap dan dibuang, gerakan rakyat mulai meredup. Seiring dengan itu, Belanda sudah mulai bebas memasuki berbagai wilayah di daerah Selatan Aceh. Marsose dari Tapak Tuan sering datang ke Blangpidie, demikian juga sebaliknya. Mereka datang untuk melakukan patroli.

Tentara Belanda yang makin bebas menjelajahi wilayah menyesakkan dada para teungku. Mereka menyusun strategi untuk melakukan penyerangan. Secara senyap (diam-diam) berbagai pihak yang dipimpin oleh Teungku Peukan menyusun kekuatan dengan menyampaikan semboyan “isy kariman au mut syahidan / hudeep saree matee syahid” (hidup mulia bersama atau mati syahid). Berbagai kelompok dalam masyarakat terdiri dari kelompok silek, kelompok dabouh (debus), pemuda gampong dan rakyat biasa mulai mengasahkan parang, pedang dan rencong bersiap-siap kapan diperintahkan langsung menyerang.


Pada hari Kamis, informasi sudah disampaikan bahwa pasukan sudah bersiap untuk melakukan penyerangan. Teungku Peukan telah menginstruksikan bahwa semua pasukan menggunakan pakaian hitam dengan celana di atas mata kaki atau lebih singkat lagi untuk memperlincah gerakan saat menyerang. Setiap panglima memakai “selempang kuning” yang diikat dari bahu sampai ke pinggang, sedangkan anggota pasukan memakai tali lilitan kain kuning di pinggang. Ini hanya memberi tanda saja antara panglima dan anggota pasukan.

Sebelum maghrib pasukan sudah mulai berkumpul di “Balai Gadeng”, sebuah balai yang digunakan untuk shalat berjamaah dan juga tempat dilaksanakan pengajian agama oleh Teungku Peukan. Setelah shalat maghrib, Teungku Peukan menyampaikan beberapa instruksi tentang strategi penyerangan dengan membagi beberapa kelompok yang dipimpin oleh seorang panglima. Teungku Peukan juga menyatakan sasaran penyerangan malam itu adalah tangsi (bivak) Belanda di Blangpidie. Jarak antara Manggeng dan Blangpidie sekitar 20 Km. 

Pada malam Jum’at 11 September 1926, setelah Isya, Teungku Peukan melaksanakan zikir bersama dengan seluruh pasukannya. Tujuan zikir itu adalah untuk membersihkan hati dari riya, takabur dan tsum’a serta perjuangan yang dilakukan itu semata-mata karena Allah swt. Zikir juga menambah semangat pasukan sehingga mereka merasa tidak sabar lagi untuk langsung berperang. Alat perang mereka memang sederhana, hanya terdiri dari rencong, pedang, parang dan tombak. Hanya itu. Senjata api yang saat itu disebut “beudee” mereka tidak punya. Dan, Belanda punya senjata Beudee itu.


Sebelum tengah malam, Teungku Peukan memerintahkan pasukannya bergerak menuju Blangpidie, beliau juga memerintahkan anaknya bernama Thalhah untuk memegang bendera komando. Sepanjang jalan pasukan larut dalam zikir yang dapat memacu semangat juang.


Pada sepertiga akhir malam, pasukan Teuku Peukan sudah tiba di Balai Pengajian Teungku Di Lhoong di Lam Sijieum (sekarang Geulumpang Payong). Pasukan beristirahat, menyusun dan mempertegas strategis penyerangan. Sekitar pukul empat pagi pasukan bergerak untuk melakukan penyerangan dan marsose di bivak sedang nyenyak dalam tidurnya. Pasukan Teuku Peukan masuk ke asrama melakukan penyerangan menyebabkan porak-poranda para marsose saat itu. Di kabarkan banyak serdadu Belanda yang mati akibat penyerangan itu. Selesai penyerangan pasukan Teungku Peukan mundur ke Mesjid Jamik yang letaknya tidak jauh dari bivak Belanda itu.

Saat berkumpul di masjid (masjid saat itu merupakan bangunan panggung terbuat dari kayu dan hanya digunakan untuk shalat saja). Selanjutnya waktu shubuhpun tiba, maka Teungku Peukan mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Sementara itu, serdadu Belanda di bivak yang selamat segera mengambil senjata dan menyusun barisan untuk melakukan penyerangan balasan. Para serdadu Belanda sangat tahu bahwa pasukan Teungku Peukan berada di masjid dan melaksanakan shalat. Saat itulah Belanda menyerang, sehingga banyak pula pasukan Teungku Peukan yang syahid termasuk Teungku Peukan sendiri syahid.

Melihat suasana yang kacau itu dan Teungku Peukan sudah syahid, bergerak pula anak Teungku Peukan bernama Muhammad Kasim menghimpun kekuatan pasukan untuk melakukan serangan pembalasan. Dalam perlawanan itu banyak pula pasukannya syahid termasuk Muhammad Kasim. Seluruh korban syahid dalam penyerangan itu dikuburkan di sekitar Masjid Jamik termasuk Teungku Peukan. Saat ini kubur beliau diberi tanda yang jelas dan dikunjungi pada setiap peringatan hari pahlawan.


Setelah suasana pagi dan telah terang pasukan tersisa menyingkir ke Lam Sijieum, dan selanjutnya kembali ke Manggeng. Setelah Syahidnya Teungku Peukan perjuangan dilanjutkan oleh Pang Paneuk, Sidi Rajab, Waki Ali, Nyak Walad dan Umar. Penyerangan-penyerangan secara sporadic dilakukan sampai beberapa waktu kemudian. Belanda memperketat melakukan sweeping untuk mencari pejuang yang tersisa.


Pada bulan Maret 1927 sisa pasukan Teungku Peukan menyerang marsose Belanda yang sedang melakukan patroli. Serangan ini menyebabkan Belanda mengambil tindakan dengan memberhentikan Ulee Balang Manggeng (T. Nana) dan menggantinya dengan Ulee Balang lain. Bukan hanya itu, tetapi juga menangkap beberapa panglima perjuangan, diantaranya Waki Ali dan Nyak Walad dibuang ke Jawa (Betawi), sedangkan Umar dibuang ke Makasar. Begitulah keadaan nanggroe saat itu. Dalam suasana seperti itulah, pada tahun 1927 Abuya Tungku Syech T. Mahmud di tugaskan ke Blangpidie.


Kembali ke Aceh dan ditugaskan ke Blangpidie

Setiba kembali di Aceh pada tahun 1926, ia langsung pulang ke Lampuuk. Tapi kepulangan beliau diketahui oleh controller Belanda di Lhoknga dan seterusnya diketahui oleh pemimpin Belanda di Kutaraja (Banda Aceh). Bersamaan dengan itu, di Blangpidie terjadi pula penyerangan tangsi (bivak) Belanda oleh Teungku Peukan. Serangan itu menimbulkan korban jiwa. Korban jiwa dari pihak mujahidin (pejuang) berdasarkan fatwa Teungku Muhammad Yunus yang lebih dikenal dengan Teungku di Lhoong (saat itu teungku yang ditugaskan di Blangpidie) tidak perlu dimandikan, dikafankan dan dishalatkan, tetapi langsung dikebumikan karena dianggap syahid. Jasad para syuhada tersebut dikebumikan di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie.

Tindakan Teungku Di Lhoong tersebut menimbulkan kemarahan Belanda karena secara tidak langsung Teungku Di Lhoong telah memihak pejuang yang oleh Belanda dianggap ekstrimis. Karena itu, pihak Belanda mengusulkan agar Teungku Di Lhoong segera diganti dengan teungku yang lain. Belanda memanggil T. Sabi dari Kuta Sabi (Dusun I) Gampong Keude Siblah Ulee Balang Blangpidie waktu itu untuk meminta agar Tgk Di Lhoong segera diganti.

T. Sabi bermusyawarah dengan berbagai pihak menyepakati untuk menganti Teungku yang mengajari agama di wilayah Blangpidie dan sekitarnya. Usulan penggantian itu akan dilakukan bersama yaitu pihak controller Belanda menyampaikan permintaannya ke Kutaraja, dan ulee balang akan mengusulkan permintaan penggantian tersebut ke Kutaraja pula. Karena itu, pihak Belanda bermusyawarah dengan pihak pemerintahan sipil Aceh (mungkin yang mewakili kerajaan) menunjuk Teungku Syech T. Mahmud bin T. Ahmad dari Lampuuk untuk menggantikan teungku di wilayah Blangpidie terdahulu. Pada tahun 1927, Teungku Syech T. Mahmud sudah berada di Blangpidie dan pada tahun 1928 mendirikan Dayah Bustanul Huda.


Mendirikan Bustanul Huda

Abu Teungku Syech Teuku Mahmud seorang ulama sufi yang sangat saleh. Beliau setelah ditugaskan oleh Kerajaan Aceh menjadi teungku di Blangpidie pada tahun 1927 (karena diminta oleh T. Sabi ulee balang mukim Kuta Batee ke Kuta Raja), setahun kemudian pada tahun 1928 beliau mendirikan Dayah Bustanul Huda Blangpidie. Kala itu Dayah Bustanul Huda merupakan satu-satunya Dayah terbesar di wilayah itu yang santrinya berdatangan dari berbagai pelosok daerah dan banyak menghasilkan ulama masyhur di Aceh maupun luar Aceh.

Dayah Bustanul Huda merupakan salah satu Dayah tertua dipantai barat selatan Aceh yang saat itu lokasinya berada di Masjid Jami’ Baitul Adhim Blangpidie (Saat ini lokasi Dayah Bustanul Huda berada di Jalan Cot Seutui Desa Keude Siblah, Blangpidie).

Menurut Abuya Syaikh Muhammad Syam Marfaly, sebelum pendirian Dayah Bustanul Huda oleh Abu Syech Mud memang sudah ada aktivitas belajar mengajar di Masjid Jami’ Blangpidie, dengan nama pengajian (belum Dayah) “Jamiatul Muslimin” yang dipimpin pertama kali oleh Tgk. Syech Ismail yang berasal dari Desa Lhueng Tarok, Blangpidie setelah Tgk. Syech Ismail berpulang ke Rahmatullah, maka pengajian dipimpin oleh Tgk. Yunus Lhong seorang ulama dari Lhong, Aceh Besar.

Pada saat perjuangan Tgk. Peukan di Blangpidie yang disaat itu Tgk. Peukan syahid, Tgk. Yunus Lhong mengubur jasad Tgk. Peukan di halaman Masjid Jami’ Baitul Adhim Blangpidie sebagaimana meninggalnya seorang syuhada yaitu tanpa dimandikan dan dikafani.

Hal tersebut mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu mencap Tgk. Yunus Lhong sebagai orang yang memihak pemberontak sehingga Belanda tidak mengizinkan Tgk. Yunus Lhong untuk memimpin pengajian Jamiatul Muslimin.

Sepeninggal Tgk. Yunus Lhong maka dengan sendirinya aktivitas pengajian terhenti. Maka pada tahun 1928 atas inisiatif tokoh masyarakat memohon Kerajaan untuk mendatangkan Ulama lain ke Blangpidie. Menurut Tgk.H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly, Raja Aceh pada saat itu mengirim 2 ulama ke daerah selatan Aceh yaitu Abuya Tgk. T. Syeh Mahmud Bin T. Ahmad (Abu Syeh Mud) berasal dari Lampu'uk, Lhoknga, Aceh Besar beliau merupakan lulusan dari Dayah Yan, Kedah, Malaysia, Abu Syeh Mud dikirim ke Blangpidie. Dan satu lagi, Abu Syeh Muhammad Ali Lampisang dikirim ke Labuhan Haji, dan beliau merupakan guru awal Syeh Muda Waly sebelum belajar di Blangpidie.

Pada saat itulah Abu Syech Mud mendirikan Dayah Bustanul Huda., dan pada saat itu banyak santri-santri yang berdatangan ke Dayah Bustanul Huda untuk belajar ilmu Agama.

Murid- murid Abu Syech Mud banyak yang berhasil menjadi ulama besar di Aceh. Diantaranya Syaikhul Islam Al Mursyid Abuya Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al Khalidy (Abu Muda Waly/Pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji Barat Aceh Selatan), Abuya. Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan ( Nek Abu/Pendiri Dayah Ashabul Yamin Bakongan ) Abuya. Tgk. Syech H. Ja’far Lailon, Abuya. Tgk. Syech H. Jailani Musa, Abuya Tgk. Syech. H. Abdul Hamid Kamal, Abuya Syech H. Muhammad Bilal Yatim Bin Murabby Al Khalidy, Abuya Tgk. Syech H. Muhammad Syam Marfaly,  Abu Ibrahim Woyla, Tgk. Salem Samadua dan lain-lain.


Pendidik Ulama di Pantai barat-selatan Aceh

Sebagaimana diuraikan bahwa Teungku yang mengajari agama di Blangpidie telah ada saat itu yaitu Teungku Muhammad Yunus atau Teungku Di Lhoong seorang ulama alim dan zuhud. Di wilayah Ulee Balang T. Ben Mahmud yaitu wilayah Kuta Batee dan sekitarnya, saat itu, sebelum datangnya Teungku Yunus Lhoong dari daerah Lhoong Aceh Besar ada teungku-teungku yang mengajar anak-anak mengaji al-quran dan mampu mengajar kitab-kitab rendah, misalnya, kitab yang bertuliskan arab jawo. Di samping itu, di kemukiman Kuta Batee (Keude Siblah, Kuta Bahagia, Kuta Tuha, Meudang Ara dan Pasar Blang Pidie) dan sekitarnya saat itu banyak tumbuh perkumpulan silek (silat), tob dabouh (debus), dan beberapa kelompok kesenian tradisional aceh seperti tarian seudati, tarian saman, geudeu-geudeu, peulheih geulayang, atau pupok keubeu.

Di kalangan orang Aceh, jika seseorang mampu mengajar silek (silat), atau tob dabouh (debus) maka masyarakat menggelarnya sebagai “kalipah”. Jika seseorang memimpin tari seudati atau saman orang menyebutnya sebagai “syeh”. Sebutan “kalipah” bukan karena ia ahli Tarekat. Gelar seseorang yang menguasai tarekat disebut “khalifah”. Hal yang sama juga dalam sebutan “syeh”, ia bukan ahli agama, tetapi ia hanya sebagai pimpinan tarian seudati atau Saman saja. Adapun gelar yang disangkutkan kepada guru agama karena ia memiliki kealiman maka disebut “Syech/Syaikh” (guru). Kedua gelar dan tabalan nama gelar ini saling berbeda.

Di daerah Blangpidie dan wilayah Kuta Batee serta wilayah-wilayah lain di sekitarnya saat itu, orang banyak bergelar “syeh” dan “kalipah” karena ia ahli dalam bidang itu, bukan memiliki kemampuan dalam bidang agama. Adapun orang yang ahli agama, misalnya, teungku yang alim atau seseorang yang mampu digelar “Syekh atau Syeikhuna” tidak seorangpun ada di wilayah keuleebalangan T. Ben Mahmud. Karena tidak ada teungku yang alim yang dapat mengajarkan secara mendalam masalah agama, maka oleh ulee balang meminta ke pusat pemerintahan di Kutaraja untuk mendatangkan teungku yang alim ke wilayah Blangpidie. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1921 didatangkanlah Teungku Muhammad Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Teungku Di Lhoong, seorang lulusan dayah di Aceh Besar yang sudah dinilai alim dan sangat zuhud.

Teungku Di Lhoong setelah datang ke Blangpidie bertempat tinggal di gampong Lam Siejiem (sekarang Geulumpang Payong) dan bersama masyarakat mendirikan mushalla sebagai tempat melaksanakan shalat berjamaah dan juga Balai Pengajian. Sebelum itu di wilayah Kuta Batee dan sekitarnya tidak dijumpai tempat-tempat mengajian yang seperti itu. Yang ada hanya rumah-rumah tempat diajarkan anak-anak membaca al-quran, dan jika teungku punya kemampuan yang lebih, misalnya pernah belajar ke kampong lain yang ada teungku lebih alim seperti ke Peulumat, maka dilanjutkan dengan belajar kitab-kitab tulisan arab jawo berupa kitab Perukunan atau kitab Masailal Muhtadi dan yang sejenisnya.


Karena ulee balang melihat bahwa masyarakat harus mendapat ilmu agama yang baik dan bahwa sistem belajar agama seperti itu tidak memadai, maka perlu meminta ke Kutaraja untuk didatangkan guru yang dapat mengajar agama yang lebih mendalam dan lebih luas. Teuku Ben Mahmud dan kemudian dilanjutkan oleh Teuku Sabi sebagai ulee balang saat itu sangat mengkhawatirkan bahwa jika Belanda telah bermarkas di daerahnya, maka masyarakat harus segera di ajari ilmu agama yang baik. Kalau tidak, beliau mengkhawatirkan bahwa adat kafir dan cara hidup kafir, akan segera diikuti bahkan agama kafir juga akan dianut. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Teungku Di Lhoong didatangkan ke wilayah Blangpidie.

Karena Teungku Di Lhoong bertempat tinggal di Lam Siejiem, maka beliau jarang ke pusat kota di Blangpidie. Beliau ke Blangpidie hanya pada hari Jumat untuk melaksanakan shalat Jumat dan sekaligus menjadi khatib. Di Masjid Jami’ hanya dilaksanakan shalat rawatib saja selebihnya tidak ada kegiatan.

Dipilihnya tempat tinggal Teungku Di lhoong di gampong Lam Siejiem setelah sampai ke Blangpidie, karena beliau tidak suka bertempat tinggal berdekatan dengan bivak Belanda (Masjid Jamik terletak di pusat kota dan sangat berdekatan dengan bivak tempat tinggal marsose Belanda). Ketidaksukaan beliau terhadap Belanda sehingga tawaran untuk dibangun rumah oleh masyarakat di dekat masjid ditolaknya, sehingga beliau lebih suka memilih tinggal agak jauh dari pusat kota.

Sebelum Teungku Di Lhoong ditugaskan ke Blangpidie, di daerah itu tidak dijumpai seorang teungkupun yang tergolong alim dan dapat dijadikan ikutan dan panutan oleh masyarakat.

Setelah Teungku Di Lhoong diberhentikan dan diganti dengan Teungku Syech T. Mahmud, beliau memilih tempat tinggal berdekatan dengan masjid walaupun dekat dengan bivak marsose Belanda. Oleh masyarakat dibangun rumah sekitar 100 m dari masjid, dengan demikian aktifitas beliau dilakukan di masjid. Untuk mengoptimalkan pendidikan yang dilakukan untuk masyarakat Abu Teungku Syech T. mahmud membangun pesantren “Dayah Bustanul Huda”, dan dayah itupun berada di sekitar masjid.

Dayah Bustanul Huda merupakan satu-satunya dayah yang sistem pengajarannya telah tertata dengan baik di pantai barat-selatan aceh. Teungku-teungku terdahulu misalnya, yang ada di Peulumat atau di beberapa tempat lain hanya mengajar di rumah atau di balai pengajian yang dibuat seperti meunasah (seperti pengajian Jamiatul Muslimin yang dipimpin oleh Tgk. Syech Ismail kemudian dilanjutkan oleh Tgk.Yunus Lhoong~red). Akan tetapi setelah datangnya Abuya Syech T, Mahmud ke Blangpidie, untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat dibangunlah pesantren yang diberi nama Bustanul Huda.

Pesantren ini mengkombinasikan pola pendidikan yang berkembang di Aceh, misalnya, pola pendidikan di Darul Ihsan Krueng Kalee atau di beberapa tempat lain dengan pola pendidikan yang dilakukan di negeri Yan Malaysia. Karena itu, sistem pendidikan yang dikembangkan Abu Teungku Syech T. Mahmud sangat disukai dan sangat banyak murid-murid yang ikut belajar. Anak-anak umur sekolah di wilayah Blangpidie hampir seluruhnya ikut menjadi santri di Bustanul Huda, demikian juga santri-santri dari berbagai daerah lain di pantai barat-selatan Aceh.

Semula karena pola pendidikan agama yang dikembangkan Abu Syech Mud (begitu beliau sering disapa) sangat disukai saat itu dan karena transportasi yang amat sulit, maka santri sebahagian besar hanya berasal dari daerah-daerah pantai barat selatan aceh. Banyak santri berasal dari Aceh Selatan dan Aceh Barat. Tetapi kemudian setelah transportasi lancar, maka berdatanganlah santri dari berbagai pelosok daerah. Pada tahun 1950-1960-an santri dari luar daerah sangat banyak belajar di Bustanul Huda. Ada yang berasal dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatra Selatan dan beberapa daerah lain. Dari Aceh hampir seluruh daerah ada santri yang belajar. Setelah Bustanul Huda dibangun pada tahun 1928, banyak santri dididik d idayah itu dan berhasil menjadi ulama atau berkiprah di birokrasi atau berbagai bidang usaha lainnya.

Alumni Bustanul Huda periode awal adalah Abuya Teungku Haji Muda Wali al-Khalidy, Abuya Syech. H. Adnan Mahmud Bakongan, Abuya Syech H. Jailani Musa Kuta Fajar, Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal Blangpidie. Abu Teungku H. Syamsuddin Sangkalan, Abu Teungku H. Abdul Gaffar Lhoknga, Abu Teungku Ibrahim Woyla dan banyak ulama lain yang tidak disebut seluruhnya di sini yang tersebar di berbagai pelosok daerah Aceh maupun di berbagai daerah di luar Aceh. Begitu juga alumni Bustanul Huda yang bergerak dibirokrasi misalnya Ustaz Teungku H. Mahdi Muhammad, Teungku H. Ainul Amin, Teungku Saleh Kapha, dan masih banyak lain. Setelah tahun 1950-an banyak pula alumni yang bertugas di berbagai lembaga daerah baik di lembaga edukasi maupun birokrasi, misalnya Teungku H. Drs. Tarmizi Dahmi, Teungku H. Drs. Usman Nuris, dan masih banyak yang lain yang bertugas di berbagai bidang. Sebahagian besar anak-anak dan remaja Aceh selatan saat itu pernah belajar di Dayah Bustanul Huda. 

Begitulah saat itu, sehingga sesungguhnya Abuya Teungku Syech T. Mahmud sangat besar jasanya dalam mengembangkan pola pendidikan di pantai barat dan selatan Aceh. Dan itu merupakan amal beliau sebagai ilmun yan tafa’u bihi…. Amin.


Murid Termasyhur

Di Pesantren Bustanul Huda pimpinan Abu Syech Mud, Abu Muda Waly (Mursyid Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah/Murid Abu Syech Mud) mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, di tahun 1930 terjadi satu masalah antara beberapa santri dengan Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara santri dengan gurunya (Abu Syaikh Mud) tentang masalah zikir jihar Thariqat Syathariyah oleh Tgk. Salem Samadua dan rekan-rekannya.

Karena masalah tersebut, Abu Syech Mud memerintahkan mereka meninggalkan Dayah Bustanul Huda dan berangkat ke dayah lain guna menambah ilmu pengetahuan. Maka pindahlah murid-murid Abu Syech Mud diantaranya:

1. Abuya Syech H. M. Muda Waly Al Khalidy ke Dayah Tgk. H. M. Hasan Krung Kalee Kuta Raja. 
2. Abuya Syech H. M. Yatim Al Khalidy ke Pesantren Darul Irfan di Samakurok, Pantonlabu, Aceh Utara yang berada dibawah pimpinan. Tgk. H. Ibrahim Arif. 
3. Tgk. H. Adnan Mahmud berangkat ke Padang kemudian beberapa tahun kemudian kembali ke Bakongan dan membuka Pesantren Ashabul Yamin sampai sekarang. 
4. Sedangkan Tgk. M. Salem kembali ke Samadua tanah airnya membuka Pesantren disana dan akhirnya pada tahun 1941, beliau mati syahid dalam perjuangan mengusir penjajah Belanda dari tanah air Indonesia. Beliau terkena tembakan peluru di Gunong Alue Klit dan dikebumikan di Samadua, Aceh Selatan.

Ketika Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan ke Dayah Krueng Kalee di Aceh Besar, Ayah beliau Tgk. H. Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta doanya untuk dapat melanjutkan pendidikan ke pesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta maaf kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya.

Pada tahun 1940 di kecamatan Susoh Ada seorang ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi dari Pidie, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susoh berda`wah bersama Habib Usman Quraisy (Said Quraisy Susoh) dengan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah.
Atas kebijaksanaan T. R. Sabil Blangpidie memberi kesempatan kepada kaum muda untuk berdiskusi dengan ulama jumhurul muslimun Ahlussunnah wal Jama’ah Asysyafi’iyah di halaman Masjid Jami’ Baitul Adhim Blangpidie (Halaman Kantor Bank Aceh Cab. Blangpidie sekarang) di bawah pengawasan serdadu Belanda dan disaksikan oleh ribuan umat manusia.

Tgk. Sufi dalam majelis debat tersebut mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir hujjah kebanyakan ulama termasuk Tgk. H. Muhammad Bilal Yatim dapat dipatahkan. Namun, pada waktu giliran Tgk. Sufi berdebat dengan Abuya Muda Waly semua dalil dan alasan kaum muda beliau bantah, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum.

Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud memaafkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.


Beristerikan Cut Nyak Maryam

Teungku Syech T. Mahmud bin T. Ahmad memperisterikan Cut Nyak Maryam binti T. Mamad, anak Ulee Balang Lamlhom, Lhoknga pada tahun 1928. Karena Cut Nyak Maryam saat itu masih kecil (sekitar 12 tahun), maka mereka tidak tinggal bersama. Teungku Syech T. Mahmud, berangkat ke Blangpidie sedangkan istri beliau tetap tinggal di Lam Lhom, Lhoknga. Pasangan ini memiliki tiga orang anak yaitu, seorang anak laki-laki lahir 1933, kemudian meninggal dunia beberapa hari setelah dilahirkan. Selanjutnya lahir pula anak perempuan Cut Ridhwan Mahmud pada tahun 1935, dan Cut Asmanidar pada tahun 1941. 

Cut Nyak Maryam adalah anak ulee balang Lam Seukee, Lamlhom, Lhoknga. Ia lahir pada tahun 1918 di Lamlhom. Sejak kecil ia tidak mengecap pendidikan formal, tetapi walaupun demikian ia dapat membaca dan menulis tulisan arab jawi dengan chad yang baik. Pendidikan Cut Nyak Maryam ditempuhnya melalui pendidikan teungku gampong di desa Lamlhom. Saat itu anak perempuan hanya belajar kitab agama dan tulisan arab jawi saja dan sangat jarang yang menempuh pendidikan formal.

Pada usia 13 tahun diperisterikan oleh Tgk Syech T. Mahmud yang saat itu telah tinggal di Blangpidie. Cut Nyak Maryam tidak langsung pindah ke Blangpidie tetapi tetap tinggal di Lhamlhom sampai tahun 1937. Selanjutnya tinggal di Blangpidie sampai tahun 1986. Kemudian beliau kembali menetap di Lamlhom dan meninggal serta dikebumikan di Meunasah Manyang, Lamlhom, Lhoknga, Aceh Besar pada tahun 2006.


Meninggal Dunia

Pada tahun 1966 Abu Syech Mud meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri yang bernama Hj. Cut Maryam dan dua orang anak yaitu : Hj. Cut Rizwan Mahmud dan Hj. Asmanidar Mahmud. Abu Teungku Syech T. Mahmud adalah mertua dari Teungku Syech H. Abdul Hamid Kamal karena memperistrikan Cut Ridhwan putri tertua Abu Teungku Syech T. Mahmud.

Abu Teungku Syech T. Mahmud wafat di Blangpidie pada 1 Ramadhan 1385 H atau tahun 1966 M dan dikebumikan di depan rumah beliau di Blangpidie (Tidak jauh dari Masjid Jami' Baitul Adhim) di bawah kubah yang dibuat masyarakat untuk beliau. Makam beliau sering dikunjungi oleh murid-murid beliau dari berbagai daerah, dan sering juga dikunjungi oleh orang-orang dari Malaysia yang mengenal beliau sebagai “Asy-syaikhuna Gurunya Para Ulama”.

Dan kemudian Dayah Bustanul Huda Blangpidie dipimpin oleh menantu beliau yaitu Abu Syech Tgk. H. Abdul Hamid Kamal sampai tahun 1980.



***

Sebagian besar tulisan dikutip dari Biografi Abuya Teungku Syech Teuku Mahmud “Gurunya Para Ulama” tulisan Tgk. H. Ir. Silman Haridhy, Msi. (Mudir ’Aam Dayah Raudhatul Ulum, Tinggal di Blangpidie Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh). Sebagian lain bersumber dari 1. tulisan Profil Dayah Bustanul Huda oleh Pimpinan Dayah (Abu Muda Tgk. H. M. Qudusi dari Abuya M. Syam Marfaly) dan 2. tulisan Riwayat Hidup Abuya Prof. Dr. Sy. H. M. Yatim bin Murabby oleh Tgk. M. Yunus. NIL. pada 1 Agustus 1992. Disyarah kembali oleh Rozal Nawafil.
© Infokom PD OPI Aceh


Selasa, 22 Agustus 2017

Sekretaris PD OPI Aceh Jadi Khatib Jumat di Lapas Lhoknga

Sekretaris PD OPI Aceh Ridwan Idy menyampaikan khutbah jumat di Lapas Lhoknga

LIPUTANRAKYAT.COM, BANDA ACEH — Sekretaris Pengurus Daerah (PD) Organisasi Pelajar Islam (OPI) Provinsi Aceh, Ridwan Idy, menjadi Khatib shalat Jum’at di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Jum’at (26 Agustus 2016).

  
“Jumat ini, Ridwan menyampaikan isi khutbah tentang Wal ‘Ashri (Demi Masa),” sebut Ketua PD OPI Aceh, Redha Rahmatillah, yang ikut shalat Jumat di lapas tersebut.

Reza Thogam (sapaan akrab Redha), yang kerap menemani aktifitas Ridwan, mengatakan bahwa Ridwan acap kali menjadi khatib Jum’at di Lapas tersebut.

“Bulan Ramadhan yang lalu, dia juga diundang untuk menyampaikan tausyiah disini (Lapas),” ujar aktifis LSM Gempa tersebut.

Ridwan yang lahir di Idi Aceh Timur pada 1 Januari 1993, saat ini mondok di Dayah (Pondok Pesantren/Zawiyah) Raudhatul Quran, Tungkop, Kabupaten Aceh Besar. Ia belajar sekaligus mengajar di dayah tersebut.

“Selain itu, Ridwan juga mengajar di beberapa TPA di Banda Aceh,” ungkap Reza.


© Infokom PD OPI Aceh

Buka Puasa Bersama PD OPI Aceh-DPD PERTI Aceh

Pengurus DPD PERTI dan PD OPI Provinsi Aceh saat Buka Puasa Bersama di Sekretariat DPD PERTI Aceh


Banda Aceh – Pengurus Daerah Organisasi Pelajar Islam (PD OPI) Provinsi Aceh menggelar buka puasa bersama pada Kamis (23/6) di sekretariat DPD PERTI Provinsi Aceh, Jalan H.Zakaria/Tanggul Krueng Aceh, Kecamatan Lhueng Bata, Kota Banda Aceh.
Ketua PD OPI Aceh, Redha Rahmatillah dalam sambutannya mengatakan bahwa Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk mempererat ukhuwah serta konsolidasi organisasi.


Ketua PD OPI Aceh Redha Rahmatillah (Tengah)

“Semoga kegiatan ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat konsolidasi organisasi kita untuk terus melangkah kedepan”. Kata Reza, yang juga mantan Ketua Volunteer Peduli Sesama (VOPIS) dan ketua LSM Gempa (Generasi Muda Peduli Aceh).

Sementara itu, Ketua DPD Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Aceh, Drs.Tgk.H. Hasyim Daud, MM dalam sambutannya menyampaikan bahwa DPD PERTI mengapresiasi dan akan terus mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh OPI, maupun organisasi serumpun lainnya seperti Wanita PERTI, Pemuda Islam (PI), Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) dan lainnya.

Buka puasa bersama yang diisi dengan tausyiah oleh Tgk. Muhajir, Lc tersebut turut dihadiri oleh  Ketua DPD PERTI Aceh Drs. Tgk. H. M. Hasyim Daud MM, Wakil Ketua DPD PERTI Drs. Tgk. Nurdin Ubit,  Wakil Sekretaris DPD PERTI Drs. Suwardi Jamal, Ketua Wanita PERTI Dra. Hj. Nuraini Muhammad, MA dan Fendi Satria Daroesman, S.IP dari Korwil KMI Aceh. 
© Infokom PD OPI Aceh


Rabu, 16 Agustus 2017

Ulama Kharismatik Ahlussunnah wal Jama'ah Aceh, Abuya Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee Al Haddadi Al Falaki Al Asyi: Ketua DPD PERTI Aceh Pertama, Ketua Majelis Syura DPD PERTI Aceh 1968-1973


Abu Tgk.H.M. Hasan Krueng Kalee
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh (Tgk. Daud Beureueh adalah murid dari Tgk.H.M. Hasan Krueng Kalee) datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur;Ta peu’ek geulayang wate na angen. (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang).Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.

Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee merupakan seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Al Haddad.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain.

Siapakah Beliau ?




Keluarga Krueng Kalee

Syaikh Teungku Muhammad Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.  Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada bangsawan atau pemimpin.

Beliau lahir pada tanggal 13 Rajab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.

Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Disanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.

Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke Negeri Yan, Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.

Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.

Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyi Al-Falaky.”

Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.

Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.

Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai mengabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :


  • Tgk. Syaikh Mahmud (Syaikh Mud) Blangpidie, ulama dan pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Aceh Selatan (Sekarang Masuk dalam Wilayah Aceh Barat Daya).
  • Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majelis ulama Aceh Timur.
  • Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
  • Tgk. H. M.Muda Waly Al Khalidy Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Aceh Selatan. 
  • Tengku Muhammad Amin Jumphoih Kembang Tanjong Pidie
  • Tengku Syeh Ibrahim Ahmad Cot Cibrek Simpang Keuramat Aceh Utara
  • Tgk. H. Idris Lamreung (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry )  
  • Tgk Ishak Di Iboih kembang tanjong Pidie
  • Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
  • Kolonel Nurdin, mantanBupati Aceh Timur.
  • Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.
  • Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
  • Tgk. H. Mahmud Blang Blahdeh, Bireuen.
  • Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh
  • Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
  • Tgk. Haji Adnan Mahmud Bakongan
  • Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Rayeuk.
  • Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
  • Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
  • Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.


Pada tahun 2007, senin 7 Mei, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Keempat ulama itu, masing-masing 

1.      Syaikh Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala),
2.      Syaikh Hamzah Fansuri,
3.      Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, dan
4.      Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Abu Muda Waly )

Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.

Kiprah dalam Politik dan Organisasi Islam



Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafiyah syafi'iyah dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain. 

Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk. H. Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H. Hasballah Indrapuri, Tgk H. Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain sebagainya.

Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah :

Ø  Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
Ø  Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
Ø  Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa :

Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah   sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh     almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun     bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan   nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air agama dan bangsa.”

Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk. H. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.

Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada masa hangat-hangatnya perjuangan membela tanah air, organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.

Pada awal tahun 1942 PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan PERTI ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalh hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui.

Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh. Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Teungku Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.

Almarhum Teungku Haji Hasan Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).

Dari uraian diatas jelas bahwa Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia, beliau pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama ulama Aceh lainnya. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Teungku Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi PERTI.

Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan juang di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya PERTI, PUSA, Kasyafatul Islam, Muhammadiyah, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya.

Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleebalang (Hulubalang) Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.

Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “Ta Peu’ek Geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.

***



Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan.

© Infokom PD OPI Aceh 

Postingan Populer